Thursday, December 11, 2008

Jadilah...

1. Jadilah Jagung, Jangan Jambu Monyet.

Jagung membungkus bijinya yang banyak,
sedangkan jambu monyet memamerkan bijinya yang cuma satu-satunya.

Artinya : Jangan suka pamer


2. Jadilah pohon Pisang.

Pohon pisang kalau berbuah hanya sekali, lalu mati.

Artinya : Kesetiaan dalam pernikahan.


3. Jadilah Duren, jangan kedondong

Walaupun luarnya penuh kulit yang tajam, tetapi dalamnya lembut dan manis.
hmmmm, beda dengan kedondong, luarnya mulus, rasanya agak asem dan di dalamnya ada biji yang berduri.

Artinya : Don't Judge a Book by The Cover.. jangan menilai orang dari Luarnya saja.


4. Jadilah bengkoang.

Walaupun hidup dalam kompos sampah, tetapi umbinya isinya putih bersih.

Artinya : Jagalah hati jangan kau nodai.


5. Jadilah Tandan Pete, bukan Tandan Rambutan.

Tandan pete membagi makanan sama rata ke biji petenya, semua seimbang,
tidak seperti rambutan.. ada yang kecil ada yang gede.

Artinya : Selalu adil dalam bersikap.


6. Jadilah Cabe.

Makin tua makin pedas.

Artinya : Makin tua makin bijaksana.


7. Jadilah Buah Manggis

Bisa ditebak isinya dari pantat buahnya.

Artinya : Jangan Munafik


8. Jadilah Buah Nangka

Selain buahnya, nangka memberi getah kepada penjual atau yang memakannya.

Artinya : Berikan kesan kepada semua orang (tentunya yg baik).


NB:

9. Jadilah Buah Dada

Selain bermanfaat buat anak, buat bapaknya juga

Artinya : Sekali pukul dua-duanya dapet!

Nasib Profesor di Indonesia


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Seorang profesor yang sudah berdinas sekitar 40 tahun, dihitung sejak pertama kali mengajar di perguruan tinggi, menerima gaji kurang lebih Rp 2,7 juta per bulan, atau lebih sedikit tergantung kepada ukuran keluarga yang masih berada di bawah tanggungannya. Sekiranya sang profesor masih punya tanggungan anak yang kuliah satu atau dua orang, Anda bisa membayangkan betapa sulit baginya untuk mengatur bujet rumah tangga. Atau, bahkan tanpa berutang, dapur bisa berhenti berasap, karena pendapatan setiap bulan benar-benar berada dalam sistem ''menghina''.

Bandingkan dengan seorang anggota DPRD di daerah yang punya PAD (Penghasilan Asli Daerah) tinggi, yang menerima gaji sekitar Rp 40 juta per bulan. Tidak peduli apakah anggota ini punya ijazah asli atau palsu yang belum ketahuan, pendapatannya sama.

Untuk menandingi perdapatan per bulan anggota DPRD yang terhormat ini, seorang profesor harus bekerja sekitar 15 bulan, baru imbang. Inilah panorama kesenjangan yang amat buruk yang berlaku sampai sekarang. Jangankan dengan wakil rakyat dengan PAD tinggi, di daerah minus sekalipun, dengan pendapatan sekitar Rp 5 juta per bulan, seorang profesor botak tidak bisa menandingi.

Memang, ada sejumlah kecil profesor atau doktor yang punya penghasilan tambahan yang cukup tinggi sebagai konsultan, dosen di luar negeri, merangkap jadi anggota DPR, komisaris atau penasihat bank, ikut proyek, atau mengajar di beberapa tempat, dan lain-lain. Tetapi, standar gaji mereka, ya seperti tersebut di atas itu.

Dengan kenyataan seperti itu, mana mungkin seorang profesor punya karier akademik yang menjulang tinggi. Dana untuk beli buku sudah tersedot untuk kepentingan survival, sekadar bertahan hidup. Nasib saya pribadi karena pernah memberi kuliah di Amerika Serikat, Malaysia, dan Kanada, plus anggota DPA selama lebih sedikit lima tahun, memang agak mendingan. Ditambah lagi jumlah anak dan istri tunggal. Sewaktu belajar di Chicago, istri saya juga sempat bekerja sebagai baby sitter (pengasuh anak) dengan penghasilan yang lumayan. Dengan kondisi ini, kami bisa menabung. Penghasilan lain juga datang dari sumber-sumber lain, seperti dari menulis dan bantuan teman.

Sekiranya penghasilan saya hanya sebagai seorang profesor dengan golongan IVe sekalipun, saya hanya akan gigit jari bila berkunjung ke toko buku. Paling-paling hanya lihat daftar isi, dan kalau ada waktu baca kesimpulan buku itu. Setelah itu pulang sambil mengenang alangkah bagusnya buku itu.

Tulisan ini tidak ingin memberi kesan bahwa seorang profesor itu perlu diberi perhatian khusus. Sama sekali tidak. Tetapi makhluk yang satu ini, apalagi mereka yang mendapatkan PhD di luar negeri, adalah pekerja keras dengan membanting otak selama bertahun-tahun. Tugasnya kemudian adalah untuk turut ''mencerdaskan kehidupan bangsa'' pada tingkat perguruan tinggi.

Pemegang PhD setelah pulang ke Tanah Air tentu harus berpikir keras lebih dulu bagaimana agar rumah tangga bisa bertahan. Urusan buku terpaksa menjadi agenda nomor sekian. Padahal tanpa buku dan jurnal, seorang pemegang PhD pasti akan kehabisan stok, tidak bisa meng-update (menyegarkan) ilmunya. Akibatnya, buku-buku terbitan puluhan tahun yang lalu dikunyah lagi untuk bahan perkuliahan.

Dengan kenyataan seperti ini, mana mungkin orang dapat berharap kualitas perguruan tinggi kita akan terbang tinggi dibandingkan dengan mitranya di negara tetangga saja. Kualitas pendidikan kita sudah terlalu jauh di bawah standar, termasuk perguruan tinggi yang biasa disebut sebagai pusat keunggulan.

Dengan rendahnya mutu lulusan kita, akan sangat kecil kemungkinan bangsa ini akan mampu bersaing pada tingkat regional untuk mengisi lapangan kerja yang terbuka lebar sebenarnya. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris yang sangat lemah bagi lulusan kita menambah lagi daftar buruk kita untuk mampu bersaing di dunia kerja untuk perusahaan-perusahaan asing di kawasan Asia Tenggara, misalnya.

Sebagai perbandingan, di Malaysia gaji seorang profesor penuh (full professor) hampir dua kali lipat gaji anggota parlemen federal. Di Indonesia gaji seorang anggota DPR pusat sekitar 19 X lipat gaji seorang profesor penuh per bulan. Maka, orang tidak boleh kaget lagi jika dunia akademik dan keilmuan kita semakin suram dan buram dari waktu ke waktu, sementara dunia politik kita semakin berkibar dan kumuh, sementara masih saja sebagian politisi DPR kita merangkap jadi calo proyek.

Tidak malu? Pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi untuk Indonesia, sebab peradaban bangsa ini baru sampai sebatas itu. Akan tenggelamkah kita? Semoga tidak! Anak bangsa yang masih punya hati nurani harus bangkit menolong perahu republik ini agar tidak semakin dipermalukan dunia.

KEKASIH STANDARD VS KEKASIH SEJATI


Kekasih standard selalu ingat senyum di wajahmu
Kekasih sejati juga mengingat wajahmu waktu sedih

Kekasih standard akan membawamu makan makanan yang enak-enak
Kekasih sejati akan mempersiapkan makanan yang kamu suka

Kekasih standard setiap detik selalu menunggu telpon dari kamu
Kekasih sejati setiap detik selalu teringat ingin menelponmu

Kekasih standart selalu mendoakan mu kebahagiaan
Kekasih sejati selalu berusaha memberimu kebahagiaan

Kekasih standard mengharapkan kamu berubah demi dia
Kekasih sejati mengharapkan dia bisa berubah untuk kamu

Kekasih standard paling sebal kamu menelpon waktu dia tidur
Kekasih sejati akan menanyakan kenapa sekarang kamu baru telpon ?

Kekasih standard akan mencarimu untuk membahas kesulitanmu
Kekasih sejati akan mencarimu untuk memecahkan kesulitanmu

Kekasih standard selalu bertanya mengapa kamu selalu membuatnya sedih ?
Kekasih sejati akan selalu mananyakan diri sendiri mengapa membuat kamu sedih ?

Kekasih standard selalu memikirkan penyebab perpisahan
Kekasih sejati memecahkan penyebab perpisahan

Kekasih standard bisa melihat semua yang telah dia korbankan untukmu
Kekasih sejati bisa melihat semua yang telah kamu korbankan untuknya

Kekasih standard berpikir bahwa pertengkaran adalah akhir dari segalanya
Kekasih sejati berpikir, jika tidak pernah bertengkar tidak bisa disebut cinta sejati

Kekasih standard selalu ingin kamu disampingnya menemaninya selamanya
Kekasih sejati selalu berharap selamanya bisa disampingmu menemanimu

UNGKAPAN JUJUR SEORANG ANAK

Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.

Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.

Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika:

"Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.

Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).

Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian.

Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika.

Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."

Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"

Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya.

Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit.

Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."

Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu"

Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.

Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."

Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"

Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana.

Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."

Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"

Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."

Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".

Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya.

Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....",

Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".

Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ....."

Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku"

Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hamper setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...."

Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata: "tersenyum".

Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku...."

Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"

Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku .."

Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".

Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".

Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik.

(Ditulis oleh : Lesminingtyas)