Sunday, November 29, 2009

3x8=23

Yan Hui adalah murid kesayangan Confucius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumuni banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: “3×8 = 23, kenapa kamu bilang 24?”

Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: “Sobat, 3×8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi.”

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: “Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan.”

Yan Hui: “Baik, jika Confucius bilang kamu salah, bagaimana?”

Pembeli kain: “Kalau Confucius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?”

Yan Hui: “Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu.”

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confucius. Setelah Confucius tahu duduk persoalannya, Confucius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa: “3×8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Berikan jabatanmu kepada dia.”

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confucius berkata dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.

Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confucius tapi hatinya tidak sependapat.

Dia merasa Confucius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confucius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasihat : “Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh.”

Yan Hui menjawab, “Baiklah,” lalu berangkat pulang.

Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba-tiba ingat nasihat Confucius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu.
Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasihat gurunya yang pertama sudah terbukti. Apakah saya akan membunuh orang?

Yan Hui tiba di rumahnya saat malam sudah larut dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai di depan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasihat Confucius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confucius, berlutut dan berkata: “Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?”

Confucius berkata: “Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh”.

Yan Hui berkata: “Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum.”

Jawab Confucius : “Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?”

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : “Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar-benar malu.”

Sejak itu, kemanapun Confucius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.


Cerita ini mengingatkan kita:
Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya. Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara-gara bertaruh mati-matian untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal saat sudah terlambat.

Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.


Sunday, November 22, 2009

Bersahabat dengan Diri Sendiri

Oleh: Made Sudarma


SETIAP manusia yang normal pada umumnya pasti menginginkan mendapatkan kepuasan dalam hidupnya di dunia ini. Cuma kepuasan yang lebih banyak didorong oleh gejolak nafsu keinginan tidak akan pernah mampu mewujudkan kepuasan itu dalam hidupnya. Bahkan, Mahatma Gandhi menyatakan keinginan tanpa dikendalikan oleh kesadaran budhi dapat menimbulkan dosa sosial. Karena itu, Wrehaspati Tattwa 32 menyatakan hendaknya manusia membatasi diri untuk mencari kepuasan hidup.

Kepuasan itu ada dua yaitu kepuasan jasmaniah disebut Wahya Tusti dan kepuasan hidup rohaniah disebut Adyatmika Tusti. Kepuasan jasmaniah itu ada lima dan salah satu dari lima kepuasan itu ada disebut sangga. Sangga adalah memperoleh kepuasan karena mendapatkan kasih sayang lingkungan. Hubungan kasih itu didapat baik dalam kehidupan bersama dalam keluarga, di tempat bekerja, dan juga dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas dari keluarga dan tempat bekerja itu. Pada zaman Kali ini mendapatkan hubungan kasih sayang yang terhormat penuh sahabat tidaklah semudah teorinya. Apalagi ada ahli meditasi menyatakan bahwa zaman Kali ini sebagian terbesar atmosfir rohani ditutupi oleh vibrasi buruk yang dipancarkan oleh sifat-sifat Adharma.

Dalam Manawa Dharmasastra 1.81-82 dinyatakan pada zaman Kali Dharma hanya berkaki satu, sedangkan Adharma berkaki tiga.

Karena itu, menyuarakan kebenaran dan keadilan pada zaman Kali ini tidaklah mudah. Kalau berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan kuatkanlah memegang prinsip-prinsip hidup yang benar itu. Jangan mudah tergoyah hanya ingin mendapatkan kepuasan sosiologis yang disebut sangga itu.

Kalau ingin memperjuangkan kebenaran pada zaman Kali ini harus siap-siap untuk kehilangan hubungan sosiologis berupa kasih sayang lingkungan yang disebut sangga itu. Siapkan diri untuk membangun kehidupan yang mampu bersahabat dengan diri kita sendiri. Jangan terlalu berharap untuk mendapatkan kepuasan sosiologis yang disebut sangga itu dari pihak lain.

Membangun kehidupan yang bersahabat dengan diri sendiri dapat dilakukan dengan membangun rasa dekat dengan tiga hal. Rasa dekat dengan tiga hal itu adalah Dewa Abhimana, Dharma Abhimana dan Desa Abhimana. Tiga rasa dekat itulah yang wajib kita bangun sehingga kita tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Kita pun tidak akan merasa jauh dengan siapa pun. Sangga atau kepuasan hubungan sosial pun tetap kita akan rasakan.

Dewa Abhimana artinya kita selalu merasa dekat dengan Tuhan karena selalu melakukan sradha dan bhakti kepada Tuhan. Demikian pula dengan Dharma Abhimana adanya rasa dekat dengan kebenaran. Kalau kita melindungi Dharma yakinlah Dharma pasti melindungi kita. Katakanlah yang benar itu benar dan yang salah itu salah dengan penuh keyakinan bahwa kebenaran itu akhirnya pasti tegak dan unggul.

Selanjutnya Desa Abhimana adalah adanya rasa dekat dengan tanah kelahiran melalui pengabdian pada tanah tumpah darah. Adanya rasa dekat pada tanah kelahiran itu melalui pengabdian yang tulus tanpa ada keinginan untuk disanjung-sanjung dan pamrih-pamrih lainnya. Dengan membangun ikatan kasih sayang pada Tuhan, kebenaran (Dharma) dan tanah kelahiran itu kita cukup mendapat rasa bersahabat. Itulah sesungguhnya wujud bersahabat dengan diri sendiri. Ini artinya bukanlah menolak adanya kasih sayang di luar tiga hal itu.

Membangun persahabatan dengan diri sendiri akan dapat membangun sikap hidup yang setara dan merdeka dalam membangun suatu persahabatan dengan siapa saja. Apakah mereka itu penguasa, orang kaya, punya pengaruh, bangsawan dsb. hal itu tidak menjadi perhitungan kita dalam membangun suatu persahabatan. Kesetaraan dan kemerdekaan dalam persaudaraan akan terjadi apabila kita tidak meletakkan persahabatan itu sebagai suatu persahabatan yang penuh dengan pamrih.

Bagi mereka yang mampu membangun persahabatan dengan dirinya sendiri tidak takut berseberangan dengan siapa saja asal untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Berseberangan itu bukan karena bermusuhan tetapi untuk tegaknya Dharma. Kritik atau kontrol sosial dilakukan didasarkan pada kasih dan itu wujud bersahabat juga.

Sunday, November 15, 2009

4 Skenario

Skenario 1

Andaikan kita sedang naik di dalam sebuah kereta ekonomi.

Karena tidak mendapatkan tempat duduk, kita berdiri di dalam gerbong tersebut.

Suasana cukup ramai meskipun masih ada tempat bagi kita untuk menggoyang-goyangkan kaki.

Kita tidak menyadari handphone kita terjatuh.

Ada orang yang melihatnya, memungutnya dan langsung mengembalikannya kepada kita.

"Pak, handphone bapak barusan jatuh nih," kata orang tersebut seraya memberikan handphone milik kita.

Apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut?

Mungkin kita akan mengucapkan terima kasih dan berlalu begitu saja.



Skenario 2

Sekarang kita beralih kepada skenario kedua.

Handphone kita terjatuh dan ada orang yang melihatnya dan memungutnya.

Orang itu tahu handphone itu milik kita tetapi tidak langsung memberikannya kepada kita.

Hingga tiba saatnya kita akan turun dari kereta, kita baru menyadari handphone kita hilang.

Sesaat sebelum kita turun dari kereta, orang itu ngembalikan handphone kita sambil berkata, "Pak, handphone bapak barusan jatuh nih."

Apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut?

Mungkin kita akan mengucapkan terima kasih juga kepada orang tersebut.

Rasa terima kasih yang kita berikan akan lebih besar daripada rasa terima kasih yang kita berikan pada orang di skenario pertama (orang yang langsung memberikan handphone itu kepada kita).

Setelah itu mungkin kita akan langsung turun dari kereta.



Skenario 3

Marilah kita beralih kepada skenario ketiga.

Pada skenario ini, kita tidak sadar handphone kita terjatuh, hingga kita menyadari handphone kita tidak ada di kantong kita saat kita sudah turun dari kereta.

Kita pun panik dan segera menelepon ke nomor handphone kita, berharap ada orang baik yang menemukan handphone kita dan bersedia mengembalikannya kepada kita.

Orang yang sejak tadi menemukan handphone kita (namun tidak memberikannya kepada kita) menjawab telepon kita.

"Halo, selamat siang, Pak.

Saya pemilik handphone yang ada pada bapak sekarang," kita mencoba bicara kepada orang yang sangat kita harapkan berbaik hati mengembalikan handphone itu kembali kepada kita.

Orang yang menemukan handphone kita berkata, "Oh, ini handphone bapak ya. Oke deh, nanti saya akan turun di stasiun berikut. Biar bapak ambil di sana nanti ya."

Dengan sedikit rasa lega dan penuh harapan, kita pun pergi ke stasiun berikut dan menemui "orang baik" tersebut.

Orang itu pun memberikan handphone kita yang telah hilang.

Apa yang akan kita lakukan pada orang tersebut?

Satu hal yang pasti, kita akan mengucapkan terima kasih, dan sepertinya akan lebih besar daripada rasa terima kasih kita pada skenario kedua bukan?

Bukan tidak mungkin kali ini kita akan memberikan hadiah kecil kepada orang yang menemukan handphone kita tersebut.

Skenario 4

Terakhir, mari kita perhatikan skenario keempat.

Pada skenario ini, kita tidak sadar handphone kita terjatuh, kita turun dari kereta dan menyadari bahwa handphone kita telah hilang, kita mencoba menelepon tetapi tidak ada yang mengangkat.

Sampai akhirnya kita tiba di rumah.

Malam harinya, kita mencoba mengirimkan SMS :

"Bapak / Ibu yang budiman. Saya adalah pemilik handphone yang ada pada bapak / ibu sekarang. Saya sangat mengharapkan kebaikan hati bapak / ibu untuk dapat mengembalikan handphone itu kepada saya. Saya akan memberikan imbalan sepantasnya. "

SMS pun dikirim dan tidak ada balasan.

Kita sudah putus asa.

Kita kembali mengingat betapa banyaknya data penting yang ada di dalam handphone kita.

Ada begitu banyak nomor telepon teman kita yang ikut hilang bersamanya.

Hingga akhirnya beberapa hari kemudian, orang yang menemukan handphone kita menjawab SMS kita, dan mengajak ketemuan untuk mengembalikan handphone tersebut.

Bagaimana kira-kira perasaan kita?

Tentunya kita akan sangat senang dan segera pergi ke tempat yang diberikan oleh orang itu.

Kita pun sampai di sana dan orang itu mengembalikan handphone kita.

Apa yang akan kita berikan kepada orang tersebut?

Kita pasti akan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepadanya, dan mungkin kita akan memberikannya hadiah (yang kemungkinan besar lebih berharga dibandingkan hadiah yang mungkin kita berikan di skenario ketiga).



Moral

Apa yang kita dapatkan dari empat skenario cerita di atas?

Pada keempat skenario tersebut, kita sama-sama kehilangan handphone, dan ada orang yang menemukannya.

Orang pertama menemukannya dan langsung mengembalikannya kepada kita.

Kita berikan dia ucapan terima kasih.

Orang kedua menemukannya dan memberikan kepada kita sesaat sebelum kita turun dari kereta.

Kita berikan dia ucapan terima kasih yang lebih besar.

Orang ketiga menemukannya dan memberikan kepada kita setelah kita turun dari kereta.

Kita berikan dia ucapan terima kasih ditambah dengan sedikit hadiah.

Orang keempat menemukannya, menyimpannya selama beberapa hari, setelah itu baru mengembalikannya kepada kita.

Kita berikan dia ucapan terima kasih ditambah hadiah yang lebih besar.

Ada sebuah hal yang aneh di sini.

Cobalah pikirkan, di antara keempat orang di atas, siapakah yang paling baik?

Tentunya orang yang menemukannya dan langsung memberikannya kepada kita, bukan?

Dia adalah orang pada skenario pertama.

Namun ironisnya, dialah yang mendapatkan reward paling sedikit di antara empat orang di atas.



Manakah orang yang paling tidak baik?

Tentunya orang pada skenario keempat, karena dia telah membuat kita menunggu beberapa hari dan mungkin saja memanfaatkan handphone kita tersebut selama itu.

Namun, ternyata dia adalah orang yang akan kita berikan reward paling besar.

Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Kita memberikan reward kepada keempat orang tersebut secara tulus, tetapi orang yang seharusnya lebih baik dan lebih pantas mendapatkan banyak, kita berikan lebih sedikit.

OK, kenapa bisa begitu?

Ini karena rasa kehilangan yang kita alami semakin bertambah di setiap skenario.

Pada skenario pertama, kita belum berasa kehilangan karena kita belum sadar handphone kita jatuh, dan kita telah mendapatkannya kembali.

Pada skenario kedua, kita juga belum merasakan kehilangan karena saat itu kita belum sadar, tetapi kita membayangkan rasa kehilangan yang mungkin akan kita alami seandainya saat itu kita sudah turun dari kereta.

Pada skenario ketiga, kita sempat merasakan kehilangan, namun tidak lama kita mendapatkan kelegaan dan harapan kita akan mendapatkan handphone kita kembali.

Pada skenario keempat, kita sangat merasakan kehilangan itu.

Kita mungkin berpikir untuk memberikan sesuatu yang besar kepada orang yang menemukan handphone kita, asalkan handphone itu bisa kembali kepada kita.

Rasa kehilangan yang bertambah menyebabkan kita semakin menghargai handphone yang kita miliki.

Saat ini, adakah sesuatu yang kurang kita syukuri?

Apakah itu berupa rumah, handphone, teman-teman, kesempatan berkuliah, kesempatan bekerja, atau suatu hal lain.

Namun, apakah yang akan terjadi apabila segalanya hilang dari genggaman kita.

Kita pasti akan merasakan kehilangan yang luar biasa.

Saat itulah, kita baru dapat mensyukuri segala sesuatu yang telah hilang tersebut.

Namun, apakah kita perlu merasakan kehilangan itu agar kita dapat bersyukur?

Sebaiknya tidak.


Syukurilah segala yang kita miliki, termasuk hidup kita, selagi itu masih ada.

Jangan sampai kita menyesali karena tidak bersyukur ketika itu telah lenyap dari diri kita.

Jangan pernah mengeluh dengan segala hal yang belum diperoleh.

Bahagialah dengan segala hal yang telah diperoleh.

Sesungguhnya, hidup ini berisikan banyak kebahagiaan.

Bila kita mampu memandang dari sudut yang benar.



Thursday, November 12, 2009

ONDIOLTU

Bila dunia ini menyodorkan masalah yang tidak dapat kau tangani sendiri, jangan berusaha menyelesaikan masalah itu. Tetapi, letakkanlah masalah itu di kotak UNDIOLTU (Untuk Diselesaikan Oleh Tuhan). Aku akan menyelesaikan masalahmu sesuai JADWAL yang Aku tentukan sendiri. Semua masalahmu PASTI akan Aku selesaikan, tetapi sesuai jadwalKu, bukan jadwalmu.

Setelah semua masalahmu kamu letakkan dalam box, janganlah kamu pikirkan dan khawatirkan. Sebaliknya, fokuslah kepada semua hal-hal baik yang sedang terjadi padamu sekarang.

Bila kamu terjebak kemacetan dijalan, janganlah marah, sebab masih banyak orang didunia ini yang tidak pernah naik mobil seumur hidupnya.

Bila kamu berhadapan dengan masalah di tempat kerja, berpikirlah bahwa masih banyak orang yang menganggur bertahun-tahun tanpa pekerjaan.

Bila kamu sedih karena hubungan keluarga, pikirkanlah orang-orang yang belum pernah merasakan mencintai dan dicintai

Bila kamu merasa bosan dengan akhir minggu, pikirkanlah orang-orang yang harus lembur siang malam tanpa libur untuk menghidupi keluarga anak-anaknya.

Bila mobil kamu mogok mengharuskan kamu berjalan kaki, janganlah marah, pikirkanlah orang-orang cacat yang sangat ingin merasakan berjalan diatas kaki sendiri seperti kamu sekarang.

Bila kamu melihat dicermin rambutmu mulai beruban, janganlah bersedih, sebab mempunyai rambut hanyalah merupakan impian bagi orang-orang yang dalam perawatan kemoterapi.

Bila kamu merasa tidak nyaman karena terkena imbas dari kemarahan dan kekecewaan orang lain, ingatlah, situasi bisa menjadi jauh lebih buruk; yaitu kamulah yang merasakan kemarahan kekecewaan tersebut!