Wednesday, May 19, 2010

Menunda Kesenangan

Oleh: Anthony Dio Martin.


Bagaimana cara sederhana untuk mengetahui potensi kesuksesan seseorang? Salah satu cara terbaik untuk mengetahui hal ini adalah dengan menguji kemampuan orang tersebut dalam menunda kesenangan (delay gratification).

Mungkin Anda pernah mendengar eksperimen Marshmallow yang terkenal pada 1960-an, dilakukan oleh seorang psikolog terkenal dari Yale University, Walter Mischel. Caranya dengan menaruh beberapa anak di dalam ruangan eksperimen.

Saat itu, berkotak-kotak marshmallow (sejenis permen) ditaruh di depan mereka. Anak ini dijanjikan akan diberikan marsmallow yang lebih banyak kalau mereka bisa menahan dirinya. Setelah itu, anak tersebut pun ditinggal. Lantas, tanpa sepetahuan mereka, mereka pun mulai diawasi. Ternyata, ada beberapa anak yang tidak sanggup menahan diri untuk langsung memakan masrhmallow di depan mereka. Ada pula beberapa anak yang sanggup untuk menahan dirinya. Akhirnya, anak yang bisa menahan diripun mendapatkan marsmallow yang lebih banyak.

Namun, penelitian tersebut tidak hanya berakhir di situ. Anak-anak yang ikut dalam eksperimen ini pun kemudian terus diikuti perkembangan mereka hingga 14 tahun kemudian. Ternyata, ketika memasuki usia dewasa, terdapat perbedaan besar di antara mereka dalam hal studi dan karier mereka. Anak-anak yang sanggup menahan diri mereka, ternyata lebih berhasil dalam studi mereka, dibandingkan dengan anak yang tidak sanggup menahan diri mereka. Bahkan, anak-anak yang sanggup menunda kesenangannya, skor nilai tes SAT (sejenis ujian tertulis) mereka lebih tinggi sekitar 210 poin. Bukan hanya itu saja. Anak yang mampu menunda kesenangan ini pun, menunjukkan sifat-sifat yang lebih positif, misalkan lebih optimistis, lebih kompetens, lebih tidak mudah merasa iri hati, serta lebih mandiri. Kemampuan ini pun akhirnya sebenarnya bukan hanya bersifat mental, melainkan juga dapat dikaitkan dengan upaya kita untuk mengelola keuangan dan cara kita menjadi orang yang sukses secara finansial.

Pelajaran Marsmallow Test
Dengan mengacu kepada eksperimen Marsmallow, sebenarnya ada beberapa pelajaran penting terkait dengan manajemen keuangan yang efektif yang bisa kita petik. Minimal ada enam pelajaran penting yang bisa kita dapatkan. Bahkan, seorang penasihat keuangan keluarga, Jan Smith pun pernah mengaitkan marsmallow test dengan keberhasilan keluarga dalam mengelola keuangannya.

Pertama, pelajaran "Jangan habiskan sekarang. Tabunglah untuk besok". Dalam marsmallow test tersebut, anak-anak yang bisa mengendalikan dan menahan dirinya, akhirnya bisa menikmati marsmallow yang lebih banyak setelah mereka sanggup menahan dirinya. Pengalaman ini akhirnya membawa kita kepada nasihat yang sering kali kita terima pada masa kecil kita. "Ayo menabung untuk nanti. Jangan habiskan sekarang!". Hal ini menunjuk-kan kepada kita kenyataan banyaknya pekerja yang setelah bekerja sekian lama, masih tetap miskin dan tidak mampu memiliki apa pun dalam hidupnya dikarenakan semua uang yang mereka dapatkan, langsung habis dibelanjakan. Mereka ini akhirnya mirip seperti anak-anak yang tidak sanggup menahan diri untuk makan permennya sekarang, tetapi kelak kemudian, mereka tidak bisa lagi menikmati permen yang lebih banyak karena sudah dihabiskan.

Kedua, pelajaran "Hindarilah permennya, kalau kamu tidak ingin tergoda". Begitu pula, dalam manajemen keuangan. Ketika memang kita tidak punya uang dan tidak bisa membelanjakan banyak hal, sebaiknya kita menghindari diri dari tempat-tempat yang menggoda kita untuk mengeluarkan uang kita. Sama seperti halnya anak-anak tersebut mungkin tidak akan tergoda kalau tidak ada permen marsmallow di depan mereka, begitu pula dalam manajemen keuangan kita. Intinya, kalau memang sedang tidak mempunyai uang dan dana sedang terbatas, menjauhlah dari tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan ataupun toko-toko kesayangan Anda yang bisa membujuk Anda untuk mengeluarkan uang yang tidak Anda duga.

Ketiga, pelajaran "Tundalah dan nikmati kebahagiaan yang lebih besar". Dalam eksperimen Marsmallow tersebut, beberapa anak bahkan hanya berani menggigit-gigit mejanya, dan menahan dirinya sampai jam eksperimennya selesai. Mereka membayangkan bisa menikmati marsmallow yang lebik banyak sambil berusaha menahan dirinya. Demikian pula, dalam manajemen keuangan kita. Pernahkah kita akhirnya memakan sesuatu yang masih panas karena tidak sanggup menahan godaan untuk menikmati makanan itu. Akhirnya bukan saja kita tidak menikmati makanan tersebut, tetapi lidah dan mulut kita pun jadi terbakar gara-gara ketidakmampuan kita untuk menahan diri. Dengan pelajaran ini, kita pun belajar bahwa dengan belajar kesanggupan menahan diri untuk tidak buru-buru mendapatkan apa yang kita inginkan, maka kita tidak akan 'terbakar' gara-gara kartu kredit ataupun utang yang menunggu dilunasi. Bahkan, salah seorang teman saya melaporkan bahwa dia begitu menginginkan jenis HP tertentu tetapi harganya terlalu mahal baginya. Akhirnya, dia pun berusaha menunda. Justru, dengan beberapa bulan menunda, menyebabkan harga ponsel akhirnya jatuh drastis yang akhirnya memungkinkan dia membelinya dengan harga yang relatif lebih murah.

Keempat, pelajaran "Janganlah tergoda hanya karena yang lain tergoda". Dalam eksperimen marsmallow ini, ada beberapa anak yang mungkin saja akan bisa bertahan kalau saja dia tidak terpengaruh oleh anak-anak yang langsung mengambil marsmallow tersebut. Begitu pula dalam manajemen keuangan kita. Terkadang, sebenarnya kita sudah mampu mengendalikan dan mengelola diri dengan baik. Namun, justru godaan datang dan muncul dari teman-teman yang menggunakan, mengenakan ataupun memamerkan produk ataupun barang-barang tertentu yang dipakainya. Akibatnya, kita pun jadi tergoda membelinya pula. Dalam hal ini, sebaiknya kita mengenali kemampuan keuangan kita dan tidak tergoda oleh ucapan maupun nasihat teman-teman kita yang mengajak kita untuk membeli merek ataupun barang tertentu, khususnya jika keuangan kita tidak memungkinkan apalagi kita sebenarnya tidak membutuhkannya. Belajar untuk katakan, "Tidak" pada diri Anda sendiri dan teman Anda.

Kelima, pelajaran "Tahan diri sekarang untuk mendapatkan barang yang lebih baik". Anak-anak yang di dalam eksperimen berusaha menahan diri, karena memikirkan akan mendapatkan marsmallow yang lebih baik. Pada akhir eksperimen, mereka betul-betul mendapatkan marsmallow yang lebih banyak. Begitu pula, biasakan berpikir bahwa jika kita bisa menunda untuk membeli produk ataupun kebutuhan yang ada saat ini dengan bentuk dan kualitas yang pas-pasan saja, tetapi bila kita sanggup menundanya, maka kita berpeluang mendapatkan yang kualitasnya lebih baik. Dalam hal ini, seorang peserta seminar saya mengatakan awalnya ia menginginkan membeli rumah tipe yang sangat kecil. Namun, akhirnya, ia menahan diri dan menabung lebih banyak lagi sehingga dapat membeli rumah yang ukurannya lebih sesuai dengan harapannya.

Keenam, pelajaran "Jangan berpikir kesempatan itu tidak pernah muncul lagi". Banyak orang tergoda membeli barang dan berbelanja karena berpikir kesempatan itu tidak akan datang lagi ataupun berpikir, "Iya kalau betul-betul ada kesempatan menikmati marsmallow yang lebih banyak. Kalau tidak?" Akhirnya, dengan alasan tersebut mereka membelanjakan uangnya. Paling-paling, ketika kita tak mendapatkan kesempatan membeli produk diskon besar-besaran yang ditawarkan, kita hanya akan rugi perasaan. Namun, kerugian tersebut akan semakin besar dan penting pada masa depan, kita amat membutuhkan uang dan ternyata kita tidak memiliki uang tersebut sehingga terpaksa meminjam ataupun menggunakan kartu kredit. Percayalah, kesempatan diskon dan peluang belanja akan selalu muncul lagi, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Namun, jangan sampai kita tidak mempunyai uang sama sekali, saat kita betul-betul membutuhkannya oleh karena kita telah membelanjakannya untuk hal-hal yang 'genting tapi tidak penting'. Semoga tulisan ini membuat kita bukan hanya cerdas secara emosional, tetapi juga cerdas finansial.


Wednesday, May 5, 2010

Memandang Sudut Pandang

Om Swastyastu

Saudara-saudaraku terkasih, berikut ada posting menarik, saya ambil dari facebook:
(http://www.facebook.com/reqs.php#!/notes.php?subj=100000869764112)

Matahari semakin tenggelam di ujung barat. Langit menjadi kemerah-merahan. Dua lelaki masih duduk bersila asyik dengan ceritanya.

“Pemandangannya semakin luar biasa guru. Sore ini tidak ada kabut menghalangi mata, sehingga kita bisa bebas melihat pemandangan gunung yang kuning kemerah-merahan disapu lembut sinar matahari terbenam.” kata Pawana.
“Hmm.. Menurut kamu, setelah kabut tidak ada, apakah yang menghalangi mata kita untuk melihat pemandangan sore ini?” tanya Sang Guru pada Pawana. 
“Pohon-pohon yang tumbuh didepan mata kita. “ kata Pawana. 
“Nah..Jika pohon-pohon itu hilang?” tanya sang guru lagi. 
“Pohon-pohon yang tumbuh di gunung itu” jawab Pawana. 
“Bagamana jika pohon-pohon yang tumbuh di gunung itu juga hilang?” tanya sang guru kembali. 
“Saya tidak tahu harus menjawabnya bagaimana, karena sudah tidak ada yang layak saya lihat sebagai pemandangan.” kata Pawana. 
“Mengapa?” tanya sang guru. 
“Jika gunung tanpa pohon, tampaklah sebuah bongkahan batu gersang dan kering, tanah terjal yang mengerikan jika longsor, saya tidak suka memandang hal seperti itu.” jawab Pawana dengan lugu.

Pawana balik bertanya pada gurunya, “Menurut guru, jika semua penghalang mata sudah tidak ada, termasuk tumbuhan yang menutupi gunung, apakah yang menjadi penghalang mata kita untuk melihat pemandangan?” 
Sambil mengelus-elus jenggotnya sang guru menjawab, “Gunung itu sendiri.. he..he..he.” 

Pawana kebingungan mendengar jawaban gurunya. Apalagi sambil tertawa terkekeh-kekeh seperti mengejek. Ia hanya ngedumel dalam hatinya, gurunya sedang sinting kerasupan siluman dedemit hutan gunung. “Biasanya dedemit suka keluar menjelang "sandikala" seperti ini, pastilah guru sedang tidak sadar." katanya dalam hati.

“Guru.. Jika gunung itu bisa dianggap sebagai penghalang mata kita melihat pemandangan, lalu pemandangan apa yang kita cari di balik gunung itu? Sangatlah sia-sia kita duduk di sini. Sebaiknya kita duduk di balik gunung itu saja, sehingga tidak menemui penghalang lagi.” kata Pawana dengan penasaran.

“Pawana.. Semua yang kamu anggap penghalang mata untuk melihat keindahan pemandangan adalah kekuatan dan vitamin keindahan itu sendiri. Menghilangkan semua yang kamu anggap sebagai penghalang mata untuk keindahan yang memuaskan diri sebenarnya dirimu sudah terjebak dalam ketidaksadaran. Jika kamu orang yang "sakti mandra guna" mungkin semuanya tersebut akan kamu korbankan untuk disingkirkan. Setelah gunung, maka bumipun akan kamu singkirkan, kemudian planet-planet, bintang, bahkan bila perlu matahari, bahkan mahluk lainnya dan sesamamu. Tetapi kamu tidak akan pernah menemukannya. Akhirnya kamu hanya akan bertemu dengan dirimu sendiri. Tibalah dirimu pada diri sendiri sebagai penghalang pemandangan yang sesungguhnya yaitu pikiran dan hatimu sendiri. Ternyata keindahan pemandangan yang kamu lihat adalah sudut pandang kamu sendiri yang lahir dari pikiran dan hatimu. Keindahan tidak terasa indah jika pikiran dan hatimu tidak tenang. Kedamaian tidak terasa damai karena hati dan pikiranmu bergolak, begitu pula cinta dan kasih karena hatimu penuh dengan lapisan kebencian. Ambisi karena keserakahan, membuat dirimu tidak memandang sesuatu dari sudut sederhana. Pemandangan dalam diri yang sesungguhnya sangatlah bening. Tetapi karena dilapisi "kotoran berdebu" yang pekat, mempengaruhi sudut pandangmu. Bahkan sangatlah sulit melihat diri sendiri jika debu-debu melapisi cermin cukup tebal.”

Pawana terdiam untuk menangkap makna kata-kata Gurunya. Dalam hatinya, ternyata gurunya tidak sinting. Kemudian ia bertanya, “Apa yang membuat pikiran dan hati bisa melihat tanpa penghalang?” Sang guru mulai menatap wajah Pawana. “Kesadaran yang mampu melahirkan pikiran harmonis. Kesadaran yang mampu melahirkan kebijaksanaan. Semua itu memerlukan latihan. Hidup ini penuh dengan cobaan dan latihan. Diperlukan ketenangan seperti mengupas lapisan kulit bawang agar jangan intinya rusak. Sangatlah sia-sia singkirkan kabut, pohon-pohon dan gunung, jika ingin melihat keindahan. Tetapi singkirkan, kabut-kabut, pohon-pohon, dan gunung penghalang dalam pikiran dan hatimu, dengan cara itu kamu akan melihat kabut, pohon dan gunung sebagai keindahan. Kamu akan melihat hal-hal yang sedehana pada sekitarmu sebagai keindahan. Tanah yang terasa di telapak kakimu, air yang engkau minum, sapaan ibumu, dan masih banyak lagi menjadi indah adanya. Mengapa? karena hatimu sedang bersinar cahaya kesadaran ”

Sang Guru kembali berkata, "Pawana..Sebelum kamu mengkambing hitamkan yang di luar dirimu, alangkah baiknya kamu mencari di dalam dirimu. Jika kamu ingin merasakan keindahan, maka ubahlah suasana hatimu".

Om Shanti Shanti Shanti Om
 

sebuah e-mail dari: I Made Sugi Ardana