Wednesday, July 29, 2009

APAKAH TUHAN MENCIPTAKAN KEJAHATAN?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?
Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".

"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.

"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460 Fahrenheit adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?" Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.


Sunday, July 26, 2009

Spirituality @ Work


Ada sebuah kejadian menarik yang pernah saya alami dengan sopir saya. Pada suatu pagi ia pergi mengendarai mobil dan meninggalkan saya begitu saja di rumah. Merasa ditinggalkan saya kemudian buru-buru mengontaknya, tetapi telepon selulernya tidak diangkat.

Berkali-kali saya meneleponnya, tetapi gagal. Dia baru mengangkat telepon 20 menit kemudian dan menyadari bahwa saya ternyata tidak ada di dalam mobil. Jadi, dia telah pergi dengan mobil yang tanpa penumpang.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Semuanya menjadi jelas setelah saya bertemu dengan dia. Rupanya selama ini dia punya kebiasaan yang tidak saya ketahui. Dia tidak pernah melihat ke tempat duduk di belakangnya untuk memastikan apakah saya sudah masuk ke dalam mobil.

Jadi, begitu mendengar pintu belakang mobil ditutup dia segera saja menjalankan mobil tersebut. Nah, pada pagi itu saya memang sudah meletakkan barang-barang di dalam mobil dan akan segera berangkat, tetapi saya kembali ke ruang kerja karena ada barang yang tertinggal.

Para pembaca yang budiman, apa sebetulnya yang bisa kita pelajari dari kejadian ini?

Sopir saya ini memang telah menjalankan pekerjaannya dengan baik, tetapi yang dia lakukan adalah "menjalankan pekerjaan".

Kalau Anda menanyakan padanya apa pekerjaannya, dia pasti akan menjawab seperti ini, "Pekerjaan saya adalah mengemudikan mobil." Nah, sebelum Anda melanjutkan membaca tulisan ini, coba Anda pikirkan, apakah ada yang salah dengan jawaban sopir saya ini?

Kalau Anda mengatakan tidak ada yang salah dengan jawabannya ini, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan kejadian yang terjadi pada pagi itu. Sopir saya memang meninggalkan saya dan mengemudikan mobil yang tanpa penumpang.

Akan tetapi, bukankah pekerjaan seorang sopir memang mengemudikan mobil? Bukankah yang dilakukan sopir saya hari itu dan pada setiap harinya adalah mengemudikan mobil? Lantas, apa yang salah dengan mengemudikan mobil?

Pembaca yang terhormat, yang salah sesungguhnya adalah paradigmanya. Pekerjaan seorang sopir bukanlah mengemudikan mobil, tetapi melayani orang lain (dalam hal ini adalah melayani si pemilik mobil).

Nah, ketika seorang sopir memaknai pekerjaannya dengan hanya "mengemudikan mobil," maka hal seperti inilah yang akan terjadi. Dia hanya melakukan pekerjaannya secara fisik dan lupa bahwa pekerjaan yang dilakukannya sesungguhnya bertujuan melayani orang lain.

Padahal bukankah esensi dan hakikat dari pekerjaan apa pun yang kita lakukan di dunia ini adalah untuk melayani orang lain?

Pembaca yang saya hormati, apa yang terjadi pada sopir saya dalam cerita di atas sesungguhnya juga sering terjadi di banyak perusahaan dan banyak organisasi.

Pengalaman saya dalam berinteraksi dengan banyak manager dan eksekutif di berbagai perusahaan sering menunjukkan masih banyaknya orang yang sekadar melakukan pekerjaan mereka secara fisik dan belum menyadari hakikat yang sesungguhnya dari bekerja.

Mereka hanya berinteraksi dengan benda mati bukan dengan manusia. Mereka gagal melihat hubungan antara pekerjaan yang mereka lakukan dengan kesuksesan dan kebahagiaan orang lain yang menikmati hasil pekerjaan mereka.

Mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Bagi orang-orang yang seperti ini satu-satunya hal terpenting dalam bekerja adalah menyelesaikan pekerjaan dengan sesegera mungkin sehingga dia bisa terlepas dari segala beban, kewajiban, dan
tuntutan. Mereka sesungguhnya tidak akan pernah menikmati pekerjaan mereka. Mereka tidak akan pernah tahu bagaimana bahagianya kalau kita bekerja untuk melayani orang lain.

Seorang kawan saya sesama fasilitator melihat pekerjaannya adalah memberikan pelatihan kepada para peserta pelatihan. Ia sering kali grogi dan tidak percaya diri ketika berbicara di depan kelas. Ia juga memberikan pelatihan seadanya saja, dan dengan persiapan yang juga ala kadarnya. Baginya yang paling penting adalah sesegera mungkin menyelesaikan pelatihan supaya hatinya bisa tenang dan lega kembali.

Kawan saya ini adalah contoh yang sangat gamblang mengenai seseorang yang tidak menyadari hakikat dan esensi pekerjaannya. Pekerjaan seorang fasilitator pelatihan sesungguhnya bukanlah memberikan pelatihan melainkan melayani orang lain.

Seorang fasilitator haruslah orang yang berorientasi untuk memahami masalah dan tantangan yang dihadapi peserta pelatihannya, mau membuka diri dan berdiskusi dengan para peserta, mendengarkan mereka dengan penuh perhatian dan memberikan inspirasi dan motivasi yang mencerahkan yang bisa mereka bawa ke tempat kerja. Karena itu keluhan kawan saya ini mengeluh kurang bahagia dengan pekerjaannya sama sekali bukan hal yang aneh. Ia menderita karena gagal memaknai pekerjaannya.

Seorang fasilitator yang lain mengeluhkan pekerjaannya yang menjemukan. Kawan ini bertugas mengelola mailing list (milis) dan mengirimkan e-mail kepada para mantan peserta pelatihan. Dia mengatakan bahwa pekerjaan ini membosankan dan tidak membuatnya bersemangat. Padahal, saya melakukan pekerjaan yang sama dengan penuh semangat. Lantas di mana perbedaannya?

Ternyata perbedaannya hanyalah pada cara melihat. Kawan saya itu hanya melihat pekerjaannya secara fisik. Dia tidak pernah bisa membayangkan bahwa pekerjaan mengirim e-mail itu berkaitan dengan manusia. Dia tidak pernah menyadari bahwa pekerjaannya bukanlah mengirimkan e-mail tetapi melayani orang lain.

Bukankah bagi para mantan peserta pelatihan mendapatkan e-mail yang mencerahkan adalah ibarat mendapatkan segelas air yang sejuk dan menyegarkan di tengah panas terik rutinitas kerja yang luar biasa? Bukankah dengan membaca e-mail-e-mail yang inspiratif dapat membangkitkan semangat dan motivasi mereka dalam bekerja? Bukankah dengan membuat orang lain bahagia kita juga akan berbahagia?

Kalau demikian mana ada pekerjaan di dunia ini yang membosankan?

oleh : Arvan Pradiansyah - Managing Director ILM, penulis buku Best Seller The 7 Laws of Happiness

Source : Dari sebuah e-mail



Friday, July 10, 2009

Kisah Nyata : Kebesaran Jiwa Seorang Ibu!

Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan elektronik.

Ada seorang pemuda bernama A Be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yang cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewek-cewek yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gajinya pun lumayan.

Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman-teman kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewek-cewek jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.

Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul-betul seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.

Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu-satunya, A Be. Namun A Be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan,” jawab A be.

Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A Be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).

Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A Be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A Be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun.

Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A Be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A Be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. "Yang sudah-sudah Nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi."

Setelah ibunya sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.