Sunday, July 26, 2009

Spirituality @ Work


Ada sebuah kejadian menarik yang pernah saya alami dengan sopir saya. Pada suatu pagi ia pergi mengendarai mobil dan meninggalkan saya begitu saja di rumah. Merasa ditinggalkan saya kemudian buru-buru mengontaknya, tetapi telepon selulernya tidak diangkat.

Berkali-kali saya meneleponnya, tetapi gagal. Dia baru mengangkat telepon 20 menit kemudian dan menyadari bahwa saya ternyata tidak ada di dalam mobil. Jadi, dia telah pergi dengan mobil yang tanpa penumpang.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Semuanya menjadi jelas setelah saya bertemu dengan dia. Rupanya selama ini dia punya kebiasaan yang tidak saya ketahui. Dia tidak pernah melihat ke tempat duduk di belakangnya untuk memastikan apakah saya sudah masuk ke dalam mobil.

Jadi, begitu mendengar pintu belakang mobil ditutup dia segera saja menjalankan mobil tersebut. Nah, pada pagi itu saya memang sudah meletakkan barang-barang di dalam mobil dan akan segera berangkat, tetapi saya kembali ke ruang kerja karena ada barang yang tertinggal.

Para pembaca yang budiman, apa sebetulnya yang bisa kita pelajari dari kejadian ini?

Sopir saya ini memang telah menjalankan pekerjaannya dengan baik, tetapi yang dia lakukan adalah "menjalankan pekerjaan".

Kalau Anda menanyakan padanya apa pekerjaannya, dia pasti akan menjawab seperti ini, "Pekerjaan saya adalah mengemudikan mobil." Nah, sebelum Anda melanjutkan membaca tulisan ini, coba Anda pikirkan, apakah ada yang salah dengan jawaban sopir saya ini?

Kalau Anda mengatakan tidak ada yang salah dengan jawabannya ini, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan kejadian yang terjadi pada pagi itu. Sopir saya memang meninggalkan saya dan mengemudikan mobil yang tanpa penumpang.

Akan tetapi, bukankah pekerjaan seorang sopir memang mengemudikan mobil? Bukankah yang dilakukan sopir saya hari itu dan pada setiap harinya adalah mengemudikan mobil? Lantas, apa yang salah dengan mengemudikan mobil?

Pembaca yang terhormat, yang salah sesungguhnya adalah paradigmanya. Pekerjaan seorang sopir bukanlah mengemudikan mobil, tetapi melayani orang lain (dalam hal ini adalah melayani si pemilik mobil).

Nah, ketika seorang sopir memaknai pekerjaannya dengan hanya "mengemudikan mobil," maka hal seperti inilah yang akan terjadi. Dia hanya melakukan pekerjaannya secara fisik dan lupa bahwa pekerjaan yang dilakukannya sesungguhnya bertujuan melayani orang lain.

Padahal bukankah esensi dan hakikat dari pekerjaan apa pun yang kita lakukan di dunia ini adalah untuk melayani orang lain?

Pembaca yang saya hormati, apa yang terjadi pada sopir saya dalam cerita di atas sesungguhnya juga sering terjadi di banyak perusahaan dan banyak organisasi.

Pengalaman saya dalam berinteraksi dengan banyak manager dan eksekutif di berbagai perusahaan sering menunjukkan masih banyaknya orang yang sekadar melakukan pekerjaan mereka secara fisik dan belum menyadari hakikat yang sesungguhnya dari bekerja.

Mereka hanya berinteraksi dengan benda mati bukan dengan manusia. Mereka gagal melihat hubungan antara pekerjaan yang mereka lakukan dengan kesuksesan dan kebahagiaan orang lain yang menikmati hasil pekerjaan mereka.

Mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Bagi orang-orang yang seperti ini satu-satunya hal terpenting dalam bekerja adalah menyelesaikan pekerjaan dengan sesegera mungkin sehingga dia bisa terlepas dari segala beban, kewajiban, dan
tuntutan. Mereka sesungguhnya tidak akan pernah menikmati pekerjaan mereka. Mereka tidak akan pernah tahu bagaimana bahagianya kalau kita bekerja untuk melayani orang lain.

Seorang kawan saya sesama fasilitator melihat pekerjaannya adalah memberikan pelatihan kepada para peserta pelatihan. Ia sering kali grogi dan tidak percaya diri ketika berbicara di depan kelas. Ia juga memberikan pelatihan seadanya saja, dan dengan persiapan yang juga ala kadarnya. Baginya yang paling penting adalah sesegera mungkin menyelesaikan pelatihan supaya hatinya bisa tenang dan lega kembali.

Kawan saya ini adalah contoh yang sangat gamblang mengenai seseorang yang tidak menyadari hakikat dan esensi pekerjaannya. Pekerjaan seorang fasilitator pelatihan sesungguhnya bukanlah memberikan pelatihan melainkan melayani orang lain.

Seorang fasilitator haruslah orang yang berorientasi untuk memahami masalah dan tantangan yang dihadapi peserta pelatihannya, mau membuka diri dan berdiskusi dengan para peserta, mendengarkan mereka dengan penuh perhatian dan memberikan inspirasi dan motivasi yang mencerahkan yang bisa mereka bawa ke tempat kerja. Karena itu keluhan kawan saya ini mengeluh kurang bahagia dengan pekerjaannya sama sekali bukan hal yang aneh. Ia menderita karena gagal memaknai pekerjaannya.

Seorang fasilitator yang lain mengeluhkan pekerjaannya yang menjemukan. Kawan ini bertugas mengelola mailing list (milis) dan mengirimkan e-mail kepada para mantan peserta pelatihan. Dia mengatakan bahwa pekerjaan ini membosankan dan tidak membuatnya bersemangat. Padahal, saya melakukan pekerjaan yang sama dengan penuh semangat. Lantas di mana perbedaannya?

Ternyata perbedaannya hanyalah pada cara melihat. Kawan saya itu hanya melihat pekerjaannya secara fisik. Dia tidak pernah bisa membayangkan bahwa pekerjaan mengirim e-mail itu berkaitan dengan manusia. Dia tidak pernah menyadari bahwa pekerjaannya bukanlah mengirimkan e-mail tetapi melayani orang lain.

Bukankah bagi para mantan peserta pelatihan mendapatkan e-mail yang mencerahkan adalah ibarat mendapatkan segelas air yang sejuk dan menyegarkan di tengah panas terik rutinitas kerja yang luar biasa? Bukankah dengan membaca e-mail-e-mail yang inspiratif dapat membangkitkan semangat dan motivasi mereka dalam bekerja? Bukankah dengan membuat orang lain bahagia kita juga akan berbahagia?

Kalau demikian mana ada pekerjaan di dunia ini yang membosankan?

oleh : Arvan Pradiansyah - Managing Director ILM, penulis buku Best Seller The 7 Laws of Happiness

Source : Dari sebuah e-mail



No comments: