Sunday, November 29, 2009

3x8=23

Yan Hui adalah murid kesayangan Confucius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumuni banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: “3×8 = 23, kenapa kamu bilang 24?”

Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: “Sobat, 3×8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi.”

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: “Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan.”

Yan Hui: “Baik, jika Confucius bilang kamu salah, bagaimana?”

Pembeli kain: “Kalau Confucius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?”

Yan Hui: “Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu.”

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confucius. Setelah Confucius tahu duduk persoalannya, Confucius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa: “3×8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Berikan jabatanmu kepada dia.”

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confucius berkata dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.

Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confucius tapi hatinya tidak sependapat.

Dia merasa Confucius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confucius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasihat : “Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh.”

Yan Hui menjawab, “Baiklah,” lalu berangkat pulang.

Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba-tiba ingat nasihat Confucius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu.
Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasihat gurunya yang pertama sudah terbukti. Apakah saya akan membunuh orang?

Yan Hui tiba di rumahnya saat malam sudah larut dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai di depan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasihat Confucius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confucius, berlutut dan berkata: “Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?”

Confucius berkata: “Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh”.

Yan Hui berkata: “Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum.”

Jawab Confucius : “Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?”

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : “Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar-benar malu.”

Sejak itu, kemanapun Confucius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.


Cerita ini mengingatkan kita:
Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya. Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara-gara bertaruh mati-matian untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal saat sudah terlambat.

Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.


Sunday, November 22, 2009

Bersahabat dengan Diri Sendiri

Oleh: Made Sudarma


SETIAP manusia yang normal pada umumnya pasti menginginkan mendapatkan kepuasan dalam hidupnya di dunia ini. Cuma kepuasan yang lebih banyak didorong oleh gejolak nafsu keinginan tidak akan pernah mampu mewujudkan kepuasan itu dalam hidupnya. Bahkan, Mahatma Gandhi menyatakan keinginan tanpa dikendalikan oleh kesadaran budhi dapat menimbulkan dosa sosial. Karena itu, Wrehaspati Tattwa 32 menyatakan hendaknya manusia membatasi diri untuk mencari kepuasan hidup.

Kepuasan itu ada dua yaitu kepuasan jasmaniah disebut Wahya Tusti dan kepuasan hidup rohaniah disebut Adyatmika Tusti. Kepuasan jasmaniah itu ada lima dan salah satu dari lima kepuasan itu ada disebut sangga. Sangga adalah memperoleh kepuasan karena mendapatkan kasih sayang lingkungan. Hubungan kasih itu didapat baik dalam kehidupan bersama dalam keluarga, di tempat bekerja, dan juga dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas dari keluarga dan tempat bekerja itu. Pada zaman Kali ini mendapatkan hubungan kasih sayang yang terhormat penuh sahabat tidaklah semudah teorinya. Apalagi ada ahli meditasi menyatakan bahwa zaman Kali ini sebagian terbesar atmosfir rohani ditutupi oleh vibrasi buruk yang dipancarkan oleh sifat-sifat Adharma.

Dalam Manawa Dharmasastra 1.81-82 dinyatakan pada zaman Kali Dharma hanya berkaki satu, sedangkan Adharma berkaki tiga.

Karena itu, menyuarakan kebenaran dan keadilan pada zaman Kali ini tidaklah mudah. Kalau berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan kuatkanlah memegang prinsip-prinsip hidup yang benar itu. Jangan mudah tergoyah hanya ingin mendapatkan kepuasan sosiologis yang disebut sangga itu.

Kalau ingin memperjuangkan kebenaran pada zaman Kali ini harus siap-siap untuk kehilangan hubungan sosiologis berupa kasih sayang lingkungan yang disebut sangga itu. Siapkan diri untuk membangun kehidupan yang mampu bersahabat dengan diri kita sendiri. Jangan terlalu berharap untuk mendapatkan kepuasan sosiologis yang disebut sangga itu dari pihak lain.

Membangun kehidupan yang bersahabat dengan diri sendiri dapat dilakukan dengan membangun rasa dekat dengan tiga hal. Rasa dekat dengan tiga hal itu adalah Dewa Abhimana, Dharma Abhimana dan Desa Abhimana. Tiga rasa dekat itulah yang wajib kita bangun sehingga kita tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Kita pun tidak akan merasa jauh dengan siapa pun. Sangga atau kepuasan hubungan sosial pun tetap kita akan rasakan.

Dewa Abhimana artinya kita selalu merasa dekat dengan Tuhan karena selalu melakukan sradha dan bhakti kepada Tuhan. Demikian pula dengan Dharma Abhimana adanya rasa dekat dengan kebenaran. Kalau kita melindungi Dharma yakinlah Dharma pasti melindungi kita. Katakanlah yang benar itu benar dan yang salah itu salah dengan penuh keyakinan bahwa kebenaran itu akhirnya pasti tegak dan unggul.

Selanjutnya Desa Abhimana adalah adanya rasa dekat dengan tanah kelahiran melalui pengabdian pada tanah tumpah darah. Adanya rasa dekat pada tanah kelahiran itu melalui pengabdian yang tulus tanpa ada keinginan untuk disanjung-sanjung dan pamrih-pamrih lainnya. Dengan membangun ikatan kasih sayang pada Tuhan, kebenaran (Dharma) dan tanah kelahiran itu kita cukup mendapat rasa bersahabat. Itulah sesungguhnya wujud bersahabat dengan diri sendiri. Ini artinya bukanlah menolak adanya kasih sayang di luar tiga hal itu.

Membangun persahabatan dengan diri sendiri akan dapat membangun sikap hidup yang setara dan merdeka dalam membangun suatu persahabatan dengan siapa saja. Apakah mereka itu penguasa, orang kaya, punya pengaruh, bangsawan dsb. hal itu tidak menjadi perhitungan kita dalam membangun suatu persahabatan. Kesetaraan dan kemerdekaan dalam persaudaraan akan terjadi apabila kita tidak meletakkan persahabatan itu sebagai suatu persahabatan yang penuh dengan pamrih.

Bagi mereka yang mampu membangun persahabatan dengan dirinya sendiri tidak takut berseberangan dengan siapa saja asal untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Berseberangan itu bukan karena bermusuhan tetapi untuk tegaknya Dharma. Kritik atau kontrol sosial dilakukan didasarkan pada kasih dan itu wujud bersahabat juga.

Sunday, November 15, 2009

4 Skenario

Skenario 1

Andaikan kita sedang naik di dalam sebuah kereta ekonomi.

Karena tidak mendapatkan tempat duduk, kita berdiri di dalam gerbong tersebut.

Suasana cukup ramai meskipun masih ada tempat bagi kita untuk menggoyang-goyangkan kaki.

Kita tidak menyadari handphone kita terjatuh.

Ada orang yang melihatnya, memungutnya dan langsung mengembalikannya kepada kita.

"Pak, handphone bapak barusan jatuh nih," kata orang tersebut seraya memberikan handphone milik kita.

Apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut?

Mungkin kita akan mengucapkan terima kasih dan berlalu begitu saja.



Skenario 2

Sekarang kita beralih kepada skenario kedua.

Handphone kita terjatuh dan ada orang yang melihatnya dan memungutnya.

Orang itu tahu handphone itu milik kita tetapi tidak langsung memberikannya kepada kita.

Hingga tiba saatnya kita akan turun dari kereta, kita baru menyadari handphone kita hilang.

Sesaat sebelum kita turun dari kereta, orang itu ngembalikan handphone kita sambil berkata, "Pak, handphone bapak barusan jatuh nih."

Apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut?

Mungkin kita akan mengucapkan terima kasih juga kepada orang tersebut.

Rasa terima kasih yang kita berikan akan lebih besar daripada rasa terima kasih yang kita berikan pada orang di skenario pertama (orang yang langsung memberikan handphone itu kepada kita).

Setelah itu mungkin kita akan langsung turun dari kereta.



Skenario 3

Marilah kita beralih kepada skenario ketiga.

Pada skenario ini, kita tidak sadar handphone kita terjatuh, hingga kita menyadari handphone kita tidak ada di kantong kita saat kita sudah turun dari kereta.

Kita pun panik dan segera menelepon ke nomor handphone kita, berharap ada orang baik yang menemukan handphone kita dan bersedia mengembalikannya kepada kita.

Orang yang sejak tadi menemukan handphone kita (namun tidak memberikannya kepada kita) menjawab telepon kita.

"Halo, selamat siang, Pak.

Saya pemilik handphone yang ada pada bapak sekarang," kita mencoba bicara kepada orang yang sangat kita harapkan berbaik hati mengembalikan handphone itu kembali kepada kita.

Orang yang menemukan handphone kita berkata, "Oh, ini handphone bapak ya. Oke deh, nanti saya akan turun di stasiun berikut. Biar bapak ambil di sana nanti ya."

Dengan sedikit rasa lega dan penuh harapan, kita pun pergi ke stasiun berikut dan menemui "orang baik" tersebut.

Orang itu pun memberikan handphone kita yang telah hilang.

Apa yang akan kita lakukan pada orang tersebut?

Satu hal yang pasti, kita akan mengucapkan terima kasih, dan sepertinya akan lebih besar daripada rasa terima kasih kita pada skenario kedua bukan?

Bukan tidak mungkin kali ini kita akan memberikan hadiah kecil kepada orang yang menemukan handphone kita tersebut.

Skenario 4

Terakhir, mari kita perhatikan skenario keempat.

Pada skenario ini, kita tidak sadar handphone kita terjatuh, kita turun dari kereta dan menyadari bahwa handphone kita telah hilang, kita mencoba menelepon tetapi tidak ada yang mengangkat.

Sampai akhirnya kita tiba di rumah.

Malam harinya, kita mencoba mengirimkan SMS :

"Bapak / Ibu yang budiman. Saya adalah pemilik handphone yang ada pada bapak / ibu sekarang. Saya sangat mengharapkan kebaikan hati bapak / ibu untuk dapat mengembalikan handphone itu kepada saya. Saya akan memberikan imbalan sepantasnya. "

SMS pun dikirim dan tidak ada balasan.

Kita sudah putus asa.

Kita kembali mengingat betapa banyaknya data penting yang ada di dalam handphone kita.

Ada begitu banyak nomor telepon teman kita yang ikut hilang bersamanya.

Hingga akhirnya beberapa hari kemudian, orang yang menemukan handphone kita menjawab SMS kita, dan mengajak ketemuan untuk mengembalikan handphone tersebut.

Bagaimana kira-kira perasaan kita?

Tentunya kita akan sangat senang dan segera pergi ke tempat yang diberikan oleh orang itu.

Kita pun sampai di sana dan orang itu mengembalikan handphone kita.

Apa yang akan kita berikan kepada orang tersebut?

Kita pasti akan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepadanya, dan mungkin kita akan memberikannya hadiah (yang kemungkinan besar lebih berharga dibandingkan hadiah yang mungkin kita berikan di skenario ketiga).



Moral

Apa yang kita dapatkan dari empat skenario cerita di atas?

Pada keempat skenario tersebut, kita sama-sama kehilangan handphone, dan ada orang yang menemukannya.

Orang pertama menemukannya dan langsung mengembalikannya kepada kita.

Kita berikan dia ucapan terima kasih.

Orang kedua menemukannya dan memberikan kepada kita sesaat sebelum kita turun dari kereta.

Kita berikan dia ucapan terima kasih yang lebih besar.

Orang ketiga menemukannya dan memberikan kepada kita setelah kita turun dari kereta.

Kita berikan dia ucapan terima kasih ditambah dengan sedikit hadiah.

Orang keempat menemukannya, menyimpannya selama beberapa hari, setelah itu baru mengembalikannya kepada kita.

Kita berikan dia ucapan terima kasih ditambah hadiah yang lebih besar.

Ada sebuah hal yang aneh di sini.

Cobalah pikirkan, di antara keempat orang di atas, siapakah yang paling baik?

Tentunya orang yang menemukannya dan langsung memberikannya kepada kita, bukan?

Dia adalah orang pada skenario pertama.

Namun ironisnya, dialah yang mendapatkan reward paling sedikit di antara empat orang di atas.



Manakah orang yang paling tidak baik?

Tentunya orang pada skenario keempat, karena dia telah membuat kita menunggu beberapa hari dan mungkin saja memanfaatkan handphone kita tersebut selama itu.

Namun, ternyata dia adalah orang yang akan kita berikan reward paling besar.

Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Kita memberikan reward kepada keempat orang tersebut secara tulus, tetapi orang yang seharusnya lebih baik dan lebih pantas mendapatkan banyak, kita berikan lebih sedikit.

OK, kenapa bisa begitu?

Ini karena rasa kehilangan yang kita alami semakin bertambah di setiap skenario.

Pada skenario pertama, kita belum berasa kehilangan karena kita belum sadar handphone kita jatuh, dan kita telah mendapatkannya kembali.

Pada skenario kedua, kita juga belum merasakan kehilangan karena saat itu kita belum sadar, tetapi kita membayangkan rasa kehilangan yang mungkin akan kita alami seandainya saat itu kita sudah turun dari kereta.

Pada skenario ketiga, kita sempat merasakan kehilangan, namun tidak lama kita mendapatkan kelegaan dan harapan kita akan mendapatkan handphone kita kembali.

Pada skenario keempat, kita sangat merasakan kehilangan itu.

Kita mungkin berpikir untuk memberikan sesuatu yang besar kepada orang yang menemukan handphone kita, asalkan handphone itu bisa kembali kepada kita.

Rasa kehilangan yang bertambah menyebabkan kita semakin menghargai handphone yang kita miliki.

Saat ini, adakah sesuatu yang kurang kita syukuri?

Apakah itu berupa rumah, handphone, teman-teman, kesempatan berkuliah, kesempatan bekerja, atau suatu hal lain.

Namun, apakah yang akan terjadi apabila segalanya hilang dari genggaman kita.

Kita pasti akan merasakan kehilangan yang luar biasa.

Saat itulah, kita baru dapat mensyukuri segala sesuatu yang telah hilang tersebut.

Namun, apakah kita perlu merasakan kehilangan itu agar kita dapat bersyukur?

Sebaiknya tidak.


Syukurilah segala yang kita miliki, termasuk hidup kita, selagi itu masih ada.

Jangan sampai kita menyesali karena tidak bersyukur ketika itu telah lenyap dari diri kita.

Jangan pernah mengeluh dengan segala hal yang belum diperoleh.

Bahagialah dengan segala hal yang telah diperoleh.

Sesungguhnya, hidup ini berisikan banyak kebahagiaan.

Bila kita mampu memandang dari sudut yang benar.



Thursday, November 12, 2009

ONDIOLTU

Bila dunia ini menyodorkan masalah yang tidak dapat kau tangani sendiri, jangan berusaha menyelesaikan masalah itu. Tetapi, letakkanlah masalah itu di kotak UNDIOLTU (Untuk Diselesaikan Oleh Tuhan). Aku akan menyelesaikan masalahmu sesuai JADWAL yang Aku tentukan sendiri. Semua masalahmu PASTI akan Aku selesaikan, tetapi sesuai jadwalKu, bukan jadwalmu.

Setelah semua masalahmu kamu letakkan dalam box, janganlah kamu pikirkan dan khawatirkan. Sebaliknya, fokuslah kepada semua hal-hal baik yang sedang terjadi padamu sekarang.

Bila kamu terjebak kemacetan dijalan, janganlah marah, sebab masih banyak orang didunia ini yang tidak pernah naik mobil seumur hidupnya.

Bila kamu berhadapan dengan masalah di tempat kerja, berpikirlah bahwa masih banyak orang yang menganggur bertahun-tahun tanpa pekerjaan.

Bila kamu sedih karena hubungan keluarga, pikirkanlah orang-orang yang belum pernah merasakan mencintai dan dicintai

Bila kamu merasa bosan dengan akhir minggu, pikirkanlah orang-orang yang harus lembur siang malam tanpa libur untuk menghidupi keluarga anak-anaknya.

Bila mobil kamu mogok mengharuskan kamu berjalan kaki, janganlah marah, pikirkanlah orang-orang cacat yang sangat ingin merasakan berjalan diatas kaki sendiri seperti kamu sekarang.

Bila kamu melihat dicermin rambutmu mulai beruban, janganlah bersedih, sebab mempunyai rambut hanyalah merupakan impian bagi orang-orang yang dalam perawatan kemoterapi.

Bila kamu merasa tidak nyaman karena terkena imbas dari kemarahan dan kekecewaan orang lain, ingatlah, situasi bisa menjadi jauh lebih buruk; yaitu kamulah yang merasakan kemarahan kekecewaan tersebut!


Thursday, October 29, 2009

"Bodoh vs Pintar" ala Om Bob Sadino


Setiap orang punya perjalanan hidup yang berbeda-beda dan menerjemahkan perjalanan hidupnya pun tak akan sama kedalam petuah-petuah kata yang bermakna.

Demikian pula dengan sosok Bob Sadino yang ber-azzam untuk tidak membawa ilmu yang dimilikinya ke liang kubur sebelum di ajarkan kepada anak bangsa ini.

Berikut tulisan-tulisan Beliau, semoga bermanfaat.

1. Terlalu Banyak Ide - Orang "pintar" biasanya banyak ide, bahkan mungkin telalu banyak ide, sehingga tidak satupun yang menjadi kenyataan. Sedangkan orang "bodoh" mungkin hanya punya satu ide dan satu itulah yang menjadi pilihan usahanya

2. Miskin Keberanian untuk memulai - Orang "bodoh" biasanya lebih berani dibanding orang "pintar", kenapa ? Karena orang "bodoh" sering tidak berpikir panjang atau banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, orang "pintar" telalu banyak pertimbangan.

3. Telalu Pandai Menganalisis - Sebagian besar orang "pintar" sangat pintar menganalisis. Setiap satu ide bisnis, dianalisis dengan sangat lengkap, mulai dari modal, untung rugi sampai break event point. Orang "bodoh" tidak pandai menganalisis, sehingga lebih cepat memulai usaha.

4. Ingin Cepat Sukses - Orang "Pintar" merasa mampu melakukan berbagai hal dengan kepintarannya termasuk mendapatkahn hasil dengan cepat. Sebaliknya, orang "bodoh" merasa dia harus melalui jalan panjang dan berliku sebelum mendapatkan hasil.

5. Tidak Berani Mimpi Besar - Orang "Pintar" berlogika sehingga bermimpi sesuatu yang secara logika bisa di capai. Orang "bodoh" tidak perduli dengan logika, yang penting dia bermimpi sesuatu, sangat besar, bahkan sesuatu yang tidak mungkin dicapai menurut orang lain.

6. Bisnis Butuh Pendidikan Tinggi - Orang "Pintar" menganggap, untuk berbisnis perlu tingkat pendidikan tertentu. Orang "Bodoh" berpikir, dia pun bisa berbisnis.

7. Berpikir Negatif Sebelum Memulai - Orang "Pintar" yang hebat dalam analisis, sangat mungkin berpikir negatif tentang sebuah bisnis, karena informasi yang berhasil dikumpulkannya sangat banyak. Sedangkan orang "bodoh" tidak sempat berpikir negatif karena harus segera berbisnis.

8. Maunya Dikerjakan Sendiri - Orang "Pintar" berpikir "aku pasti bisa mengerjakan semuanya", sedangkan orang "bodoh" menganggap dirinya punya banyak keterbatasan, sehingga harus dibantu orang lain.

9. Miskin Pengetahuan Pemasaran dan Penjualan - Orang "Pintar" menganggap sudah mengetahui banyak hal, tapi seringkali melupakan penjualan. Orang "bodoh" berpikir simple, "yang penting produknya terjual".

10. Tidak Fokus - Orang "Pintar" sering menganggap remeh kata Fokus. Buat dia, melakukan banyak hal lebih mengasyikkan. Sementara orang "bodoh" tidak punya kegiatan lain kecuali fokus pada bisnisnya.

11. Tidak Peduli Konsumen - Orang "Pintar" sering terlalu pede dengan kehebatannya. Dia merasa semuanya sudah Oke berkat kepintarannya sehingga mengabaikan suara konsumen. Orang "bodoh" ?. Dia tahu konsumen seringkali lebih pintar darinya.

12. Abaikan Kualitas - Orang "bodoh" kadang-kadang saja mengabaikan kualitas karena memang tidak tahu, maka tinggal diberi tahu bahwa mengabaikan kualitas keliru. Sedangkan orang "pintar" sering mengabaikan kualitas, karena sok tahu.

13. Tidak Tuntas - Orang "Pintar" dengan mudah beralih dari satu bisnis ke bisnis yang lain karena punya banyak kemampuan dan peluang. Orang "bodoh" mau tidak mau harus menuntaskan satu bisnisnya saja.

14. Tidak Tahu Pioritas - Orang "Pintar" sering sok tahu dengan mengerjakan dan memutuskan banyak hal dalam waktu sekaligus, sehingga prioritas terabaikan. Orang "Bodoh"? Yang paling mengancam bisnisnyalah yang akan dijadikan pioritas

15. Kurang Kerja Keras dan Kerja Cerdas - Banyak orang "Bodoh" yang hanya mengandalkan semangat dan kerja keras plus sedikit kerja cerdas, menjadikannya sukses dalam berbisnis. Dilain sisi kebanyakan orang "Pintar" malas untuk berkerja keras dan sok cerdas,

16. Mencampuradukan Keuangan - Seorang "pintar" sekalipun tetap berperilaku bodoh dengan dengan mencampuradukan keuangan pribadi dan perusahaan.

17. Mudah Menyerah - Orang "Pintar" merasa gengsi ketika gagal di satu bidang sehingga langsung beralih ke bidang lain, ketika menghadapi hambatan. Orang "Bodoh" seringkali tidak punya pilihan kecuali mengalahkan hambatan tersebut.

18. Melupakan Tuhan - Kebanyakan orang merasa sukses itu adalah hasil jarih payah diri sendiri, tanpa campur tangan "TUHAN". Mengingat TUHAN adalah sebagai ibadah vertikal dan menolong sesama sebagai ibadah horizontal.

19. Melupakan Keluarga - Jadikanlah keluarga sebagai motivator dan supporter pada saat baru memulai menjalankan bisnis maupun ketika bisnis semakin menguras waktu dan tenaga

20. Berperilaku Buruk - Setelah menjadi pengusaha sukses, maka seseorang akan menganggap dirinya sebagai seorang yang mandiri. Dia tidak lagi membutuhkan orang lain, karena sudah mampu berdiri diatas kakinya sendiri.

Sumber ; Bob Sadino

Wednesday, October 28, 2009

Satu Gelas Susu

Suatu hari seorang bocah perempuan miskin sedang berjualan dari rumah ke rumah demi membiayai sekolahnya. Ia merasa lapar dan haus, tapi sayangnya ia hanya mempunyai sedikit sekali uang. Anak itu memutuskan untuk meminta makanan dari rumah terdekat. Tetapi, saat seorang gadis muda membukakan pintu, ia kehilangan keberaniannya.

Akhirnya ia hanya meminta segelas air putih untuk menawarkan dahaga. Gadis muda itu berpikir pastilah anak ini merasa lapar, maka dibawakannyalah segelas besar susu untuk anak tersebut. Ia meminumnya perlahan, kemudian bertanya, “Berapa saya berhutang kepada anda?”

“Kamu tidak berhutang apapun kepada saya,” jawabnya. “Ibuku mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk perbuatan baik yang kami lakukan.” Anak itu menjawab, “Kalau begitu, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dari lubuk hati saya yang terdalam.”

Saat Howard Kelly bocah kecil yang miskin itu meninggalkan rumah tersebut, dia bukan hanya merasa badannya lebih segar, tetapi keyakinannya pada Tuhan dan sesama manusia menjadi lebih kuat. Sebelumnya dia sudah merasa putus asa dan hampir menyerah.

Tahun demi tahun berlalu. Suatu hari ada seorang wanita setengah tua mengalami sakit parah. Dokter yang menanganinya merasa bingung dan akhirnya mengirim wanita itu ke kota besar untuk mendapatkan pertolongan spesialis.

Dr. Howard Kelly dipanggil untuk berkonsultasi. Ketika ia mendengar nama kota tempat asal si pasien, ia segera pergi ke kamar tempat dimana wanita tersebut di rawat. Ia langsung mengenali wanita tersebut dan memutuskan untuk melakukan hal terbaik yang bisa ia usahakan untuk menolongnya. Sejak hari itu, ia memberikan perhatian khusus pada kasus ini. Setelah melewati perjuangan panjang, peperangan-pun dapat dimenangkan.

Dr. Kelly dipanggil oleh pihak administrasi untuk menandatangani kuitansi biaya yang harus dibayarkan oleh si wanita kepadanya. Ia melihat kepada kuitansi tersebut, dan kemudian menuliskan sesuatu. Kuintansi tersebut lalu dikirim ke kamar perawatan si wanita. Wanita tersebut merasa takut untuk membukanya, karena ia merasa yakin bahwa ia tidak akan mampu membayarnya. Akhirnya dengan menguatkan hati, ia melihat ke kuintansi tersebut. Sebuah tulisan pada kuitansi telah menarik perhatiannya.

Ia membaca tulisan itu:
“TELAH DIBAYAR PENUH DENGAN SATU GELAS SUSU.”


Sunday, October 11, 2009

Kaya Raya Selamanya

Oleh: Gede Prama



Pada setiap perjalanan, ada saja cara-cara sang hidup untuk bertutur. Dalam sebuah penerbangan dari Sydney ke Denpasar, entah apa yang terjadi tiba-tiba badan ini tidak mau membaca dan tidak mau tidur. Sehingga menerawanglah mata dari atas pesawat ke bawah sana. Ternyata, selama kurang lebih tiga setengah jam penerbangan tanah-tanah Australia lebih dari sembilan puluh persen berisi tanah kering yang tandus. Bandingkan misalnya dengan penerbangan dari Jakarta ke Medan. Selama hampir dua jam, di bawah sana terbentang warna hijau bukit barisan yang indah dan subur.

Di jalan-jalan darat, mata ini juga disuguhi bahan-bahan cerita yang berlimpah. Dalam sebuah perjalanan dari Medan ke Berastagi, mobil yang saya tumpangi mengikuti sebuah bus antarkota. Yang menarik, di atas bus tadi ada sekelompok orang yang duduk-duduk tenang dengan wajah gembira. Di sebuah pasar yang membuat jalan jadi macet, orang-orang yang tidak mengenal dinginnya udara di atas bus yang berjalan ini, tiba-tiba memesan durian dari atas sana, dan melahapnya dengan penuh gembira. Dari kaca mobil yang diteduhi AC diri ini bergumam kecil : mereka bisa hidup bahagia seadanya. Dan tiba-tiba teringat sebuah pengalaman ketika menginap di sebuah hotel berbintang di Bali sana. Dari mobil mewah yang mengkilap, keluar serombongan keluarga yang bermuka merah saling marah-marah. Sebelum mereka check in, mereka cekcok dan akhirnya kembali dari Bali tanpa bisa berlibur.

Melalui ilustrasi ini, sang hidup seperti sedang bertutur : we can be prosper at any level of income. Kita bisa sejahtera di setiap tingkatan pendapatan berapapun. Kesejahteraan, memang berkaitan dengan uang. Akan tetapi, yang paling utama tidak disebabkan oleh uang. Lantas, kalau tidak disebabkan oleh uang, disebabkan oleh apa ?

Sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, kesejahteraan memang berwajah ganda : material dan transendental. Keduanya memang saling memerlukan dan saling mengisi. Kesejahteraan material tanpa kesejahteraan transendental sering membuat orang jadi kaya tapi tidak bahagia. Kesejahteraan transendental tanpa kesejahteraan material menarik manusia ke dalam rangkaian hidup yang tidak seimbang : menoleh ke atas, lupa tugas-tugas di bawah dan disamping.

Kegagalan banyak manusia untuk merangkum kedua jenis kesejahteraan ini ternyata direspon tidak terlalu antusias oleh ilmi-ilmu manusia. Nyatanya wilayah-wilayah hubungan antara uang dan kesadaran manusia termasuk wilayah pengetahuan yang tidak banyak dieksplorasi. Kebingungan dan keterasingan di tengah limpahan uang, sang hidup yang diperkuda uang, hanyalah sedikit contoh dalam hal ini. Ada sahabat jernih yang pernah berbisik : many people have career, but they don’t have life. Banyak manusia yang memiliki karir cemerlang, tetapi tidak memiliki hidup.

Berangkat pagi, putera-puteri masih tidur. Setelah pulang, mereka sudah tidur. Tatkala miskin tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Setelah kaya tidak boleh makan enak karena dilarang dokter. Di awal kehidupan semua tenaga fisik dikerahkan untuk kehidupan terang kemudian. Setelah materi terang benderang hanya habis untuk membayar ongkos rumah sakit.

Mungkin betul cerita orang bijak, kalau kehidupan adalah guru yang sempurna. Tubuh ini misalnya, ia sering kali mengingatkan kita akan perilaku-perilaku menyimpang. Pengalaman-pengalaman yang terbentang luas, juga bertutur cerewet tentang pedoman-pedoman menemukan kesejahteraan. Sayangnya, tidak sedikit diantara kita yang tuli akan pesan-pesan sang guru kehidupan. Untuk kemudian, mengulang-ulang lagi keterperosokan-keterperosokan terdahulu.

Dalam lapisan-lapisan renungan seperti ini, mungkin ada gunanya untuk melihat hakekat uang. Uang, harus diakui, memang sejenis energi kehidupan. Namun, tanpa kemampuan mengelola yang memadai, ia menjadi kuda yang minta digendong. Disamping berat, juga membuat sang hidup meneteskan air mata di sepanjang jalan.

Sebuah lagu tua pernah bertutur jernih, hidup ini memang serupa dengan menyapu lantai. Setiap hari kita menyapu lantai. Hilang debu, datang daun kering dan seterusnya tanpa pernah habis-habis. Demikian juga dengan lantai-lantai kehidupan. Kita perlu menyapunya setiap hari. Dan sapu kesejahteraan yang paling mengagumkan bernama sapu cukup. Sekali lagi, cukup adalah sapu pembersih kehidupan yang paling bisa membuat lantai-lantai kehidupan tampak bersih.

Dan sebagaimana diakui banyak sahabat, justru menemukan sapu cukup inilah bagian terberat dari perjalanan menemukan kesejahteraan. Terutama karena sang uang – melalui tamu kehidupan yang bernama nafsu - memaksa untuk digendong. Serupa dengan mulut yang meminta makan ditambah terus ketika enak, dan bisa dihentikan dengan air putih, kita juga memerlukan air putih kesadaran. Yang bisa membuat kuda uang turun dari gendongan, dan kemudian kitalah yang naik di atas.

Tidak mudah tentunya. Ia memerlukan serangkaian latihan kehidupan yang panjang. Dan juga menuntut manusia menjadi supir dari kendaraan kehidupan yang bernama tubuh. Ketika manusia sudah menjadi supir dari tubuhnya, terbukalah tanda-tanda bisa menjadi kaya raya selamanya. Ketika punya uang, supir mengaturnya dengan rangkaian manajemen keuangan yang terpadu. Ketika tidak punya uang, supir mengatakan begini : time for break ! Baik ketika ada maupun tidak ada uang, sang supir menyanyikan lagu syukur sepanjang jalan. Pernah kejernihan berbisik begini ke saya : ketika kita masih mencari, kita memerlukan tujuan dan masa depan. Tatkala manusia tidak lagi mencari, ia memiliki semuanya di sini di hari ini.


Thursday, October 8, 2009

Pencuri Impian


Ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. Kepandaiannya menari sangat menonjol dibanding dengan rekan-rekannya, sehingga dia seringkali menjadi juara di berbagai perlombaan yang diadakan. Dia berpikir, dengan apa yang dimilikinya saat ini, suatu saat apabila dewasa nanti dia ingin menjadi penari kelas dunia. Dia membayangkan dirinya menari di Rusia, Cina, Amerika, Jepang, serta ditonton oleh ribuan orang yang memberi tepuk tangan kepadanya.

Suatu hari, dikotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat, dan dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Gadis muda ini ingin sekali menari dan menunjukkan kebolehannya di depan sang pakar tersebut, bahkan jika mungkin memperoleh kesempatan menjadi muridnya.

Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung, seusai sebuah pagelaran tari. Si gadis muda bertanya
“Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah anda punya waktu sejenak, untuk menilai saya menari? Saya ingin tahu pendapat anda tentang tarian saya”.
“Oke, menarilah di depan saya selama 10 menit”, jawab sang pakar.
Belum lagi 10 menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya, lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar.

Si gadis langsung berlari keluar. Pulang kerumah, dia langsung menangis tersedu-sedu. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar. Kemudian dia ambil sepatu tarinya, dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan lagi menari.

Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Dan untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan dari sebuah toko di sudut jalan.

Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari yang diadakan di kota itu. Nampak sang pakar berada di antara para penari muda di belakang panggung. Sang pakar nampak tua, dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Seusai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar, dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar. Sang pakar masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab.

Si ibu bertanya, "Pak, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu, sehingga anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah katapun?"

“Oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-tiba berhenti dari dunia tari," jawab sang pakar.

Si ibu mudasangat terkejut mendengar jawaban sang pakar. “Ini tidak adil," seru si ibu muda. “Sikap anda telah mencuri semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan toko!”

Si pakar menjawab lagi dengan tenang, “Tidak .. tidak, saya rasa saya telah berbuat dengan benar. Anda tidak harus minum anggur satu barel untuk membuktikan anggur itu enak. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton anda 10 menit untuk membuktikan tarian anda bagus. Malam itu saya juga sangat lelah setelah pertunjukkan. Maka sejenak saya tinggalkan anda, untuk mengambil kartu nama saya, dan berharap anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi anda sudah pergi ketika saya keluar. Dan satu hal yang perlu anda camkan, bahwa anda mestinya fokus pada impian anda, bukan pada ucapan atau tindakan saya. Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang bertumbuh. Pujian itu seperti pedang bermata dua. Ada kalanya memotivasimu, bisa pula melemahkanmu. Dan faktanya saya melihat bahwa sebagian besar pujian yang diberikan pada saat seseorang sedang bertumbuh, hanya akan membuat dirinya puas dan pertumbuhannya berhenti. Saya justru lebih suka mengacuhkanmu, agar hal itu bisa melecutmu bertumbuh lebih cepat lagi. Lagipula, pujian itu sepantasnya datang dari keinginan saya sendiri. Tidak pantas anda meminta pujian dari orang lain."

“Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele. Seandainya anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari, mungkin hari ini anda sudah menjadi penari kelas dunia. Mungkin anda sakit hati pada waktu itu, tapi sakit hati anda akan cepat hilang begitu anda berlatih kembali. Tapi sakit hati karena penyesalan anda hari ini tidak akan pernah bisa hilang selama-lamanya …”


Wednesday, October 7, 2009

Kopi Pakai Garam


Seorang pria bertemu dengan seorang gadis di sebuah pesta, si gadis tampil luar biasa cantiknya, banyak lelaki yang mencoba mengejar si gadis. Si pria sebetulnya tampil biasa saja dan tak ada yang begitu memperhatikan dia, tapi pada saat pesta selesai dia memberanikan diri mengajak si gadis untuk sekedar mencari minuman hangat. Si gadis agak terkejut, tapi karena kesopanan si pria itu, si gadis mengiyakan ajakannya.

Dan mereka berdua akhirnya duduk di sebuah coffee shop, tapi si pria sangat gugup untuk berkata apa-apa dan si gadis mulai merasa tidak nyaman dan berkata, “Kita pulang aja yuk…?”.

Namun tiba-tiba si pria meminta sesuatu pada sang pramusaji, “Bisa minta garam buat kopi saya?” Semua orang yang mendengar memandang dengan ke arah si pria, aneh sekali! Wajahnya berubah merah, tapi tetap saja dia memasukkan garam tersebut ke dalam kopinya dan meminumnya.

Si gadis dengan penasaran bertanya, “Kenapa kamu bisa punya hobi seperti ini?”

Si pria menjawab, “Ketika saya kecil, saya tinggal di daerah pantai dekat laut, saya suka bermain di laut, saya dapat merasakan rasanya laut, asin dan sedikit menggigit, sama seperti kopi asin ini. Dan setiap saya minum kopi asin, saya selalu ingat masa kanak-kanak saya, ingat kampung halaman, saya sangat rindu kampung halaman saya, saya kangen orang tua saya yang masih tinggal di sana.”

Begitu berkata kalimat terakhir, mata si pria mulai berkaca-kaca, dan si gadis sangat tersentuh akan perasaan tulus dari ucapan pria di hadapannya itu. Si gadis berpikir bila seorang pria dapat bercerita bahwa ia rindu kampung halamannya, pasti pria itu mencintai rumahnya, perduli akan rumahnya dan mempunyai tanggung jawab terhadap rumahnya. Kemudian si gadis juga mulai berbicara, bercerita juga tentang kampung halamannya nun jauh di sana , masa kecilnya, dan keluarganya. Suasana kaku langsung berubah menjadi sebuah perbincangan yang hangat juga akhirnya menjadi sebuah awal yang indah dalam cerita mereka berdua.

Mereka akhirnya berpacaran. Si gadis akhirnya menemukan bahwa si pria itu adalah seorang lelaki yang dapat memenuhi segala permintaannya, dia sangat perhatian, berhati baik, hangat, sangat perduli … betul-betul seseorang yang sangat baik tapi si gadis hampir saja kehilangan seorang lelaki seperti itu! Untung ada kopi asin!

Kemudian cerita berlanjut seperti layaknya setiap cerita cinta yang indah, sang putri menikah dengan sang pangeran dan mereka hidup bahagia selamanya, dan setiap saat sang putri membuat kopi untuk sang pangeran, ia membubuhkan garam di dalamnya, karena ia tahu bahwa itulah yang disukai oleh pangerannya.

Setelah 40 tahun, si pria meninggal dunia, dan meninggalkan sebuah surat yang berkata, “Sayangku yang tercinta, mohon maafkan saya, maafkan kalau seumur hidupku adalah dusta belaka. Hanya sebuah kebohongan yang aku katakan padamu … tentang kopi asin.”

Ingat sewaktu kita pertama kali jalan bersama? Saya sangat gugup waktu itu, sebenarnya saya ingin minta gula tapi malah berkata garam. Sulit sekali bagi saya untuk merubahnya karena kamu pasti akan tambah merasa tidak nyaman, jadi saya maju terus. Saya tak pernah terpikir bahwa hal itu ternyata menjadi awal komunikasi kita! Saya mencoba untuk berkata sejujurnya selama ini, tapi saya terlalu takut melakukannya, karena saya telah berjanji untuk tidak membohongimu untuk suatu apa pun.

Sekarang saya sekarat, saya tidak takut apa-apa lagi jadi saya katakan padamu yang sejujurnya, saya tidak suka kopi asin, betul-betul aneh dan rasanya tidak enak. Tapi saya selalu dapat kopi asin seumur hidupku sejak bertemu denganmu, dan saya tidak pernah sekalipun menyesal untuk segala sesuatu yang saya lakukan untukmu. Memilikimu adalah kebahagiaan terbesar dalam seluruh hidupku. Bila saya dapat hidup untuk kedua kalinya, saya tetap ingin bertemu kamu lagi dan memilikimu seumur hidupku, meskipun saya harus meminum kopi asin itu lagi.

Air mata si gadis betul-betul membuat surat itu menjadi basah. Kemudian hari bila ada seseorang yang bertanya padanya, apa rasanya minum kopi pakai garam? Si gadis pasti menjawab, “Rasanya manis.”

Kadang anda merasa anda mengenal seseorang lebih baik dari orang lain, tapi hanya untuk menyadari bahwa pendapat anda tentang seseorang itu bukan seperti yang anda gambarkan. Tambahkan Cinta dan Kurangi Benci karena terkadang garam terasa lebih manis daripada gula.

To Walk Through Forever Hand In Hand Together...So Lets Us Begin...!!

BAHAGIA

John C. Maxwell suatu ketika pernah didapuk menjadi seorang pembicara di sebuah seminar bersama istrinya. Ia dan istrinya, Margaret, diminta menjadi pembicara pada beberapa sesi secara terpisah. Ketika Maxwell sedang menjadi pembicara, istrinya selalu duduk di barisan terdepan dan mendengarkan seminar suaminya. Sebaliknya, ketika Margaret sedang menjadi pembicara di salah satu sesi, suaminya selalu menemaninya dari bangku paling depan.

Ceritanya, suatu ketika sang istri, Margaret, sedang menjadi pembicara di salah satu sesi seminar tentang kebahagiaan. Seperti biasa, Maxwell duduk di bangku paling depan dan mendengarkan. Dan di akhir sesi, semua pengunjung bertepuk tangan.

Di sesi tanya jawab itu, setelah beberapa pertanyaan, seorang ibu mengacungkan tangannya untuk bertanya. Ketika diberikan kesempatan, pertanyaan ibu itu seperti ini, "Mrs. Margaret, apakah suami Anda membuat Anda bahagia?"

Seluruh ruangan langsung terdiam. Satu pertanyaan yang bagus. Dan semua peserta penasaran menunggu jawaban Margaret. Margaret tampak berpikir beberapa saat dan kemudian menjawab, "Tidak."

Seluruh ruangan langsung terkejut. "Tidak," katanya sekali lagi, "John Maxwell tidak bisa membuatku bahagia." Seisi ruangan langsung menoleh ke arah Maxwell dan Maxwell juga menoleh-noleh mencari pintu keluar. Rasanya ingin cepat-cepat keluar.

Kemudian, lanjut Margaret, "John Maxwell adalah seorang suami yang sangat baik. Ia tidak pernah berjudi, mabuk-mabukan, main serong. Ia setia, selalu memenuhi kebutuhan saya, baik jasmani maupun rohani. Tapi, tetap dia tidak bisa membuatku bahagia.."

Tiba-tiba ada suara bertanya, "Mengapa?"

"Karena," jawabnya, "tidak ada seorang pun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku selain diriku sendiri."

Dengan kata lain, maksud dari Margaret adalah, tidak ada orang lain yang bisa membuatmu bahagia. Baik itu pasangan hidupmu, sahabatmu, uangmu, hobimu. Semua itu tidak bisa membuatmu bahagia. Karena yang bisa membuat dirimu bahagia adalah dirimu sendiri.

Kamu bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Kalau kamu sering merasa berkecukupan, tidak pernah punya perasaan minder, selalu percaya diri, kamu tidak akan merasa sedih. Sesungguhnya pola pikir kita yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan faktor luar.

Bahagia atau tidaknya hidupmu bukan ditentukan oleh seberapa kaya dirimu, seberapa cantik istrimu, atau sesukses apa hidupmu. Ini masalah pilihan: apakah kamu memilih untuk bahagia atau tidak.


Tuesday, October 6, 2009

Hakim Yang Bijaksana

Ada seorang kaya tinggal disebuah kota dengan istrinya. Rumah mereka besar. Harta mereka pun banyak. Mereka memiliki beberapa orang pembantu. Dibelakang rumah mereka, ada sebuah rumah yang dimiliki oleh keluarga miskin. Dirumah inilah si miskin dan istrinya tinggal.

Walaupun si kaya hidup senang dan berkemewahan namun badan mereka sangatlah kurus. Apabila mereka berjalan, mereka terlihat seperti pasangan tinggi kurus. Hal ini bertolak belakang dengan si miskin dan istrinya. Badan mereka gemuk. Walaupun miskin mereka senantiasa gembira, sementara si Kaya selalu sibuk dalam mengurus harta kekayaannya yang banyakitu. Si kaya takut sekali kalau usaha dagangnya rugi.

Pada suatu hari si kaya dan si miskin berjumpa di jalan. Apa yang kamu makan hingga badanmu menjadi gemuk seperti ini, tanya si kaya kepada si miskin. Saya tidak makan apa-apa, kecuali disetiap saya dan istri mau makan, kami selalu menunggu tukang masak tuan memasak. Aroma masakan yang datang dari dapur rumah tuan meningkatkan selera makan kami. Inilah yang menjadikan kami gemuk dan sehat, Kata si miskin.

Si kaya sangat marah mendengar jawaban si miskin. Baginya si miskin telah mendapatkan keuntungan dari aroma masakan yang di masak oleh tukang masaknya. Lalu hal itu diadukannya kepada seorang Hakim.

"Saya ingin mendapatkan ganti rugi tuan hakim," kata si kaya kepada sang Hakim. Si kaya dan istrinya juga hadir karena ingin mendapatkan ganti rugi dari makanan mereka. Si miskin dan istrinya mengakui bila sang hakim menyatakan dakwaan dan setuju akan tuntutan si kaya dan istrinya. Tiba saatnya, Sang Hakim pun menjatuhkan hukuman, dan dia meminta sejumlah uang emas dan sebuah mangkuk besi.

"Bersediakah kamu menerima ganti rugi itu?" Tanya sang hakim kepada si kaya dan istrinya. Si kaya pun menganggukkan kepalanya sebagai tanda ia setuju. Sang hakim mulai mengangkat uang emas itu dan menjatuhkannya kedalam mangkuk besi itu. Dentingan suara uang emas itu terdengar nyaring bunyinya. Dan si kaya pun menghitungnya satu persatu. "Itukah uang ganti buat saya tuan hakim?" tanya si kaya kepada sang hakim. Sang Hakim menjawab, "oleh karena si miskin hanya makan bau aroma makanan kamu, maka kamu pun hanya dapat mendengar dentingan bunyi uang itu," kata sang hakim. Setelah itu, Ia pun menghentikan pembicaraannya.

Singkat cerita, si miskin terlepas dari jeratan tuntutan si kaya, dan si kaya dan istrinya pun merasa malu akibat ulahnya.

Bahan Renungan:
Dalam pepatah Jerman kita sering mendengar: ” Wie du in den Wald hineinrufst, so hallt es wieder“. yang artinya ” bagaimana dikau berteriak menyeru kedalam hutan, demikianlah gaung yang kembali kepadamu”. Segala perbuatan adalah Karma, dan apa yang kita terima adalah akibat dari Karma kita, itulah yang kita kenal dengan Karma Phala.


Ikatkan Sehelai Pita Kuning Bagiku …

Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia, Amerika. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam-malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya.

Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York. Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya.

Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.

Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia. Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya. Dia berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, “Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku.”

Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah. Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau mengampuninya? Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, “Tolong, pas lewat White Oak, jalan pelan-pelan, kita mesti lihat apa yang akan terjadi…”

Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras. Akhirnya dia melihat pohon itu.

Air mata menetas di matanya…
Dia tidak melihat sehelai pita kuning…
Tidak ada sehelai pita kuning….
Tidak ada sehelai……
Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning….
bergantungan di pohon beringin itu…
Ooh…seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning…!!!!!!!!!!!!

Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, “Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree”, dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April 1973. Sebuah lagu yang manis, namun mungkin masih jauh lebih manis jika kita bisa melakukan apa yang ditorehkan lagu tersebut…

If God always forgive you,.. will you forgive the others ? .. think wisely .. !!!

Tiada sesuatu yang lebih indah dan melegakan ketika kita dapat memberi maaf seperti halnya ketika Tuhan mengampuni dosa kita


Izinkan Aku MenciumMu, Ibu

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)

Wednesday, September 23, 2009

Teladan seorang Ayah

Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu yang tak terucapkan yaitu teladan sebagai seorang pria dan seorang ayah - Will Rogers

Setahuku, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orangtuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu. Bunyi gemericingnya nyaring jika botol itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus jendela kamar tidur.

Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, menghitung jumlahnya sebelumnya membawanya ke bank. Membawa keping-keping koin itu ke bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan Ayah di truk tuanya. Setiap kali kami pergi ke bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. "Karena koin-koin ini kau tidak perlu kerja di pabrik tekstil. Nasibmu akan lebih baik daripada nasibku. Kota tua dan pabrik tekstil disini takkan bisa menahanmu." Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir bank, Ayah selalu tersenyum bangga. "Ini uang kuliah putraku. Dia takkan bekerja di pabrik tekstil seumur hidup seperti aku.".

Pulang dari bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah selalu memilih yang vanila. Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. "Sampai di rumah, kita isi botol itu lagi."

Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. "Kau akan bisa kuliah berkat koin satu penny, nickle, dime, dan quarter," katanya. "Kau pasti bisa kuliah. ayah jamin."

Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan di kota lain. Pernah, waktu mengunjungi orangtuaku, aku menelepon dari telepon di kamar tidur mereka. Kulihat botol acar itu tak ada lagi. Botol acar itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudahdi pindahkan entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika mataku memandang lantai di samping lemari tempat botol acar itu biasa di letakkan.

Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, botol acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata daripada kata-kata indah.

Setelah menikah, kuceritakan kepada Susan, istriku, betapa pentingnya peran botol acar yang tampaknya sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu melambangkan betapa besarnya cinta Ayah padaku. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi botol acar itu dengan koin. Bahkan di musim panas ketika ayah diberhentikan dari pabrik tekstil dan Ibu terpaksa hanya menyajikan buncis kalengan selama berminggu-minggu, satu keping pun tak pernah di ambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan menyiram buncis itu dengan saus agar ada rasanya sedikit, Ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku. "Kalau kau sudah tamat kuliah," katanya dengan mata berkilat-kilat, "kau tak perlu makan buncis kecuali jika kau memang mau."

Liburan Natal pertama setelah lahirnya putri kami Jessica, kami habiskan di rumah orangtuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di sofa, bergantian memandangku cucu pertama mereka. Jessica menangis lirih. Kemudian susan mengambilnya dari pelukan Ayah. "Mungkin popoknya basah," kata Susan, lalu dibawanya Jessica ke kamar tidur orangtuaku untuk di ganti popoknya. Susan kembali ke ruang keluarga dengan mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Jessica ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar.

"Lihat," katanya lembut, matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah di singkirkan, berdiri botol acar yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin. Aku mendekati botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu kedalam botol. Aku mengangkat kepala dan melihat Ayah. Dia menggendong Jessica dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan. Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama. Kami tak kuasa berkata-kata.

-----> : Sebuah cerita yang luar biasa bukan ? Inilah sebuah cerita yang menunjukkan besarnya cinta seorang ayah ke anaknya agar anaknya memperoleh nasib yang jauh lebih baik dari dirinya. Tetapi dalam prosesnya, Ayah ini tidak saja menunjukkan cintanya pada anaknya tetapi juga menunjukkan sesuatu yang sangat berharga yaitu *pelajaran tentang impian, tekad, teladan seorang ayah, disiplin dan pantang menyerah*. Saya percaya anaknya belajar semua itu
walaupun ayahnya mungkin tidak pernah menjelaskan semua itu karena anak belajar jauh lebih banyak dari melihat tingkah laku orangtuanya dibanding apa yang dikatakan orangtuanya. Semoga cerita ini menginspirasi kita semua.

--dari sebuah e-mail--

Monday, September 14, 2009

Apartemen Lantai 60

Ada satu keluarga yang mengontrak rumah dan akhirnya membeli sebuah apartemen di lantai 60. Apartemen itu memakan waktu sangat lama dalam pembuatannya. Kemudian, tibalah hari yang dinanti. Apartemen dambaan telah jadi dan selesai dengan baik. Dengan semangat dan antusias mereka membawa banyak barang-barang untuk mengisi apartemen mereka.

Mereka membawa surat kabar, pakaian, mainan, makanan, kompor, lemari pakaian, tempat tidur, peralatan makan, televisi, alat musik, sabun, teropong, dan banyak sekali barang lain. "Nanti di atas, kita bisa nonton tv, main video game, masak terus makan masakan buatan sendiri, bisa bersantai sambil mendengarkan musik, bisa meneropong jauh, bersantai, mandi dulu, pokoknya enak deh..." demikian pikir mereka.

Sesampainya mereka di sana, mereka menemui developer. Ternyata, apartemen itu baru setengah jadi dan lift belum terpasang. Mereka sangat kecewa dibuatnya. Mereka ingin pulang ke rumah lama mereka, tapi kontrak mereka sudah habis. Dengan sangat terpaksa, mereka harus tetap naik ke atas sana dan tinggal di dalamnya menggunakan tangga darurat. Mereka naik membawa semua barang mereka menggunakan tangga darurat. tangga demi tangga dilalui, mereka terus maju dengan semangat membara.

Sesampainya mereka di lantai 25 mereka kelelahan, mereka makan dan minum dengan lahapnya. Lalu mereka melihat barang-barang mereka, semuanya utuh. Timbul sebuah pikiran untuk mengurangi barang bawaan mereka. Lalu mereka memutuskan untuk meninggalkan meja telepon dengan teleponnya. "Toh di atas kita tidak perlu telepon atau pesan apa-apa," demikian menurut mereka.

Di lantai 30 mereka tinggalkan baju, mainan dan lemari pakaian mereka. "Toh kita masih memakai baju." Lalu mereka terus melaju ke lantai 35, mereka masih mengeluh dan memutuskan untuk meninggalkan barang mereka lagi yaitu televisi dan radio serta compo. "Soalnya kita tidak perlu nonton tv, toh acara dan lagu-lagu yang kita punya itu-itu saja."

Teruslah mereka melaju sampai lantai 45, rasanya masih berat dan tidak menyenangkan. Maka mereka tinggalkan kompor dan bahan makanan yang mereka bawa. "Toh tadi masih kenyang makan banyak." Lalu, di lantai 55 teropong dengan tripod yang sangat besar mereka tinggalkan begitu saja. "Toh di atas mau lihat apa, belum jadi semua tower yang lain."

Sesampainya di lantai 60, mereka masuk dan menyadari yang mereka miliki hanya sebuah kasur. Tidak ada jalan lain, mereka hanya ingin tidur karena tidak ada pilihan lain.

And so.... what's the point? Mungkin Anda bingung kenapa perumpamaan ini sangat panjang. Perjalanan itu melambangkan kehidupan. Tiap lantai yang ada, melambangkan umur. Dan Anda adalah keluarga tersebut. Barang-barang tersebut adalah mimpi Anda, barang-barang tersebut adalah perlambang tindakan Anda.

Di umur 25 Anda mulai bekerja dan memutuskan untuk fokus pada pekerjaan Anda, tanpa sadar Anda telah mengeliminasi banyak sahabat potensial.

Di umur 30 Anda sudah tidak memperhatikan penampilan dan melupakan hobi Anda akibat sulitnya bersaing.

Di umur 35 Anda mulai melupakan kesenangan yang Anda dambakan di hari tua akibat kenyataan bahwa tabungan Anda tidak mencukupi.

Di umur 45 Anda berhenti makan makanan yang Anda sukai akibat terlalu banyak mengkonsumsi makanan di usia 25 yang mulai berdampak buruk di usia ini.

Di umur 55 Anda benar-benar melupakan keinginan menikmati hari tua dengan memandang indahnya hidup dengan menikmati apa yang Anda lewati, Anda mulai kuatir dengan masa depan anak Anda.

Di umur 60, Anda menyesal tidak banyak yang Anda dapat akibat tidak ada mimpi yang direalisasikan. Anda hanya ingin cepat tidur selamanya, karena Anda sudah tidak bisa lagi makan makanan enak, Anda tidak memiliki achievement yang bisa dibanggakan, Anda tidak punya siapapun yang menjadi sahabat Anda, Anda tidak bisa menikmati hobi Anda di masa muda, kesehatan badan mengkuatirkan.

Hidup cuma datang sekali. Jadi pastikan, Anda akan berjuang untuk mencaoai mimpi-mimpi Anda! Jangan lepaskan, tapi usahakan. Jangan sampai kita kehabisan pilihan dalam menjalani hidup. Dreaming is a freedom, so free your dreams.


Tuesday, September 1, 2009

Dua Bata Jelek


Pada saat saya off beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang kawan yang baru menikah 1 tahun… mereka adalah pasangan yang sudah cukup lama menjalin hubungan sebelum memutuskan untuk menikah...(maklum.. mereka sudah pacaran mulai kuliah). Akan tetapi pada saat itu kawan tersebut bercerita bahwa dia mengalami masalah rumah tangga yang cukup berat, bahkan dia berencana untuk menceraikan istri yang baru dinikahi tersebut...

Kemudian saya meminta dia untuk menceritakan apa ”masalah berat” yang mengancam rumah tangganya tersebut. Ternyata yang menjadi masalah adalah cuma karena salah pengertian saja... sang istri belum memahami apa kemauan dari sang suami...

Saya lalu teringat sebuah kisah yang pernah saya baca beberapa tahun yang lalu dan mungkin bisa bermanfaat bagi kawan tersebut..



*

Kisah itu tentang seorang fisikawan yang memutuskan untuk menjadi biksu. Seperti yang kita ketahui, tidak ada biksu yang kaya... mereka terbiasa hidup apa adanya..(padahal kalau saja dia mau melanjutkan hidup sebagai fisikawan pastilah dia sudah kaya raya sekarang...)

Pada suatu ketika para biksu tersebut ingin membangun sebuah wihara untuk mereka beribadah. Akan tetapi setelah mereka sanggup membeli tanah untuk wihara, mereka jatuh bangkrut. Mereka terjerat hutang. Tidak ada bangunan diatas tanah itu, bahkan sebuah gubuk pun tidak ada. Pada minggu – minggu pertama, mereka tidur diatas pintu – pintu tua yang mereka beli murah dari pasar loak. Mereka mengganjal pintu – pintu itu dengan batu bata disetiap sudut untuk meninggikannya dari tanah (tidak ada matras – tentu saja, mereka adalah petapa hutan).

Mereka hanyalah biksu – biksu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Mereka tidak mampu membayar tukang (bahan – bahan bangunan saja sudah cukup mahal). Jadi fisikawan tersebut harus belajar cara bertukang : bagaimana menyiapkan pondasi, menyemen, dan memasang batu bata, mendirikan atap, memasang pipa – pipa (pokoknya semuanya...) . Dia adalah seorang mantan fisikawan dan guru SMA sebelum menjadi biksu, tidak terbiasa bekerja kasar. Setelah beberapa tahun dia menjadi cukup terampil bertukang. Tetapi pada saat memulai, ternyata bertukang itu sangatlah sulit.

Kelihatannya gampang, membuat tembok dengan batu bata : tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika dia mulai memasang batu bata, dia ketok satu sisi untuk meratakannya, tapi sisi lainnya malah jadi naik. Lalu dia ratakan sisi yang naik itu, batu batanya jadi melenceng. Setelah diratakan kembali, sisi yang pertama malah terangkat lagi !!!!

Sebagai seorang biksu, dia memiliki kesabaran dan waktu sebanyak yang dia butuhkan. Dia pastikan setiap batu bata terpasang dengan sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya dia berhasil menyelesaikan tembok batu batanya yang pertama dan berdiri dibaliknya untuk mengagumi hasil karyanya. Saat itulah dia melihatnya.. . Oh tidak... dia telah keliru menyusun dua buah batu bata. Semua batu bata yang lain sudah lurus, tetapi dua batu bata tersebut tampak miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya. ..

Saat itu semen sudah terlanjur keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi biksu itu bertanya kepada kepala wihara apakah dia boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu, meledakkannya sekalian. Biksu itu telah berbuat kesalahan dan dia menjadi gundah gulana. Kepala wihara bilang tidak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.

Ketika biksu tersebut membawa tamu pertamanya berkunjung mengelilingi wihara yang baru setengah jadi, dia selalu menghindarkan membawa mereka melewati tembok batu bata yang dia buat. Biksu itu tidak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira – kira 3 – 4 bulan setelah dia membangun tembok itu, biksu tersebut berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya.. ...

”Itu tembok yang indah,” pengunjung itu berkomentar dengan santainya.

”Pak,” biksu itu menjawab dengan terkejut, ”apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan anda sedang terganggu? Tidakkah anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?”

Apa yang pengunjung itu ucapkan selanjutnya telah mengubah keseluruhan pandangan biksu tersebut terhadap tembok itu, berkenaan dengan diri dia sendiri dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Dia berkata, ”Ya, saya bisa melihat dua bata jelek itu, namun saya juga melihat 998 batu bata yang bagus.”

Biksu itu tertegun. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, dia mampu melihat batu bata - batu bata lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, dibawah, di kiri, dan di kanan dari dua bata jelek itu adalah batu bata – batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang sempurna, jauh lebih banyak daripada dua bata jelek itu. Selama ini mata biksu itu hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah dia perbuat.... dia terbutakan oleh hal - hal lainnya. Itulah sebabnya biksu tersebut tidak tahan melihat tembok itu, atau tidak rela membiarkan orang lain melihatnya juga. Itulah sebabnya dia ingin menghancurkannya. Sekarang dia dapat melihat batu bata – batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tidak terlalu buruk lagi. Tembok itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung tadi, ” Sebuah tembok yang indah.”

Tembok itu masih tetap berdiri sampai hari ini, setelah puluhan tahun, namun biksu itu sudah lupa dimana letak persisnya dua bata jelek itu berada. Dia benar – benar tidak dapat melihat kesalahan itu lagi.

*



Berapa banyak orang yang memutuskan hubungan atau bercerai karena semua yang mereka lihat dari diri pasangannya adalah ”dua bata jelek?” Berapa banyak diantara kita yang menjadi depresi atau bahkan ingin bunuh diri, karena semua yang kita lihat dalam diri kita hanyalah ”dua bata jelek?” Pada kenyataannya, ada banyak, jauh lebih banyak batu bata yang bagus (diatas, dibawah, dikiri, dan dikanan dari yang jelek....) namun pada saat itu kita tidak mampu melihatnya. Malahan setiap kali kita melihatnya, mata kita hanya terfokus pada kesalahan yang kita perbuat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan, dan kita mengira yang ada hanyalah kekeliruan semata, karena itu kita ingin menghancurkannya. Dan terkadang, sayangnya, kita benar – benar menghancurkan ”sebuah tembok yang indah”.

Kita semua memiliki ”dua buah bata jelek”, namun batu bata yang baik didalam diri kita masing – masing jauh lebih banyak daripada bata yang jelek. Begitu kita melihat batu bata yang baik, semua akan tampak tidak terlalu buruk lagi. Bukan hanya kita bisa berdamai dengan diri sendiri, termasuk dengan kesalahan – kesalahan kita namun juga bisa menkmati hidup bersama pasangan kita....

Saya juga mempunyai beberapa kawan yang berprofesi sebagai tukang bangunan. Mereka memberi tahu saya tentang rahasia profesi mereka :

” Kami para tukang bangunan selalu membuat kesalahan,” katanya, ”tetapi kami bilang kepada pelanggan kami bahwa itu adalah ”ciri unik” yang tiada duanya di rumah-rumah yang lain. Lalu kami menagih biaya extra untuk ”ciri unik” tersebut !!!”

Jadi, ”ciri unik” di rumah anda, bisa jadi, awalnya adalah sebuah kesalahan. Dengan cara yang sama, apa yang anda kira sebagai kesalahan pada diri anda, rekan anda, pasangan anda, atau hidup pada umumnya, dapat menjadi sebuah ”ciri unik”, yang memperkaya hidup anda di dunia ini, ketika anda tidak lagi terfokus padanya....

--dari sebuah e-mail--

Thursday, August 27, 2009

Mengasah Gergaji


Sebuah kisah dari Borneo. Seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk memotong kayu dengan gergaji tangan di gudang penyimpanan kayunya. Karena dijanjikan gaji yang lumayan besar dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, membuat si calon pemotong kayu itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.

Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah gergaji tangan dan menunjukkan jumlah tumpukan pohon yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si tukang kayu

Hari pertama bekerja, dia berhasil memotong 15 batang balok berukuran besar. Sore hari, mendengar hasil kerja si tukang kayu, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu memotong balok-balok itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu.”

Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si tukang kayu bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil memotong 10 batang balok. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit balok kayu yang berhasil dipotong dengan gergaji. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku. Bagaimana aku dapat mempertanggungjawab kan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir si tukang kayu merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah gergajimu?”

“Mengasah gergaji? Saya tidak punya waktu untuk itu. Saya sangat sibuk setiap hari memotong balok-balok dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga,” kata si tukang kayu.

“Nah, di sinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan gergaji baru dan terasah, maka kamu bisa memotong balok kayu dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan gergaji yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apa pun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah gergajimu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang mulailah mengasah gergajimu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan.

Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si tukang kayu berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah gergaji.

renungan:

Sama seperti si tukang kayu, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan selalu baru!


Sunday, August 23, 2009

Rumah Seribu Cermin


Di sebuah desa kecil yang terpencil, ada sebuah rumah yang dikenal dengan nama "rumah seribu cermin". Pada suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan. di desa itu dan melintasi Rumah Seribu Cermin itu. Anjing itu tertarik pada rumah itu dan memutuskan untuk masuk dan melihat-lihat apa yang ada di dalamnya.

Sambil melompat-lompat ceria anjing kecil itu menaiki tangga rumah dan masuk melalui pintu dpan. Telinganya terangkat tinggi-tinggi, ekornya bergerak-gerak cepat. Ketika masuk ke dalam rumah, ia sangat terkejut melihat seribu wajah ceria anjing-anjing kecil dengan ekor yang bergerak-gerak cepat. Ia tersenyum lebar dan seribu wajah anjing itu juga membalas dengan senyum yang lebar, hangat dan bersahabat. Saat meninggalkan rumah itu, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Tempat ini sangat menyenangkan, aku akan mengunjunginya lagi sesering mungkin,"

Sesaat setelah anjing itu pergi, datang anjing kecil yang lain. namun anjing yang satu ini tidak seceria anjing sebelumnya. Ia juga memasuki rumah itu dengan perlahan-lahan ia menaiki tangga rumah dan masuk melalui pintu depan. Ketika berada di dalam, ia terkejut melihat ada seribu wajah anjing kecil yang muram dan tidak bersahabat. Ia segera menggonggong kuat-kuat dan dibalas juga dengan seribu gonggongan yang menyeramkan.Ia ketakutan dan keluar dari rumah itu sambil berkata kepada dirinya sendiri, "Tempat ini sungguh sangat menakutkan, aku tidak akan pernah kembali lagi ke sini."

Renungan:
Sahabat, semua wajah yang ada di dunia ini adalah cermin wajah kita sendiri. Wajah yang bagaimanakah yang tampak pada orang-orang yang kita jumpai?

Wajah-wajah yang tersenyum, jika kita tersenyum

Wajah-wajah yang ceria, jika kita tampak gembira di depan mereka

Wajah-wajah yang bergelora, jika kita tampak bersemangat

Wajah-wajah yang bersahabat, jika kita penuh kehangatan


(cerita rakyat jepang)




Sunday, August 2, 2009

10 sifat mulia

Berikut ini adalah sepuluh sikap mulia yang seharusnya kita tunjukkan dalam perilaku sehari-hari..


1. Ketulusan

Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura-pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya "Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak". Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.


2. Rendah Hati

Beda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendahhatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.


3. Kesetiaan

Kesetiaan sudah menjadi barang langka dan sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban
dan tidak suka berkhianat.


4. Bersikap Positif

Orang yang bersikap positif selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputus-asaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.


5. Keceriaan

Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.


6. Bertanggung Jawab
Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.


7. Kepercayaan Diri

Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.


8. Kebesaran Jiwa

Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.


9. Easy Going

Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.


10. Empaty

Empati adalah sifat yg sangat mengagumkan. Orang yg berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.


Wednesday, July 29, 2009

APAKAH TUHAN MENCIPTAKAN KEJAHATAN?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?
Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".

"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.

"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460 Fahrenheit adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?" Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.


Sunday, July 26, 2009

Spirituality @ Work


Ada sebuah kejadian menarik yang pernah saya alami dengan sopir saya. Pada suatu pagi ia pergi mengendarai mobil dan meninggalkan saya begitu saja di rumah. Merasa ditinggalkan saya kemudian buru-buru mengontaknya, tetapi telepon selulernya tidak diangkat.

Berkali-kali saya meneleponnya, tetapi gagal. Dia baru mengangkat telepon 20 menit kemudian dan menyadari bahwa saya ternyata tidak ada di dalam mobil. Jadi, dia telah pergi dengan mobil yang tanpa penumpang.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Semuanya menjadi jelas setelah saya bertemu dengan dia. Rupanya selama ini dia punya kebiasaan yang tidak saya ketahui. Dia tidak pernah melihat ke tempat duduk di belakangnya untuk memastikan apakah saya sudah masuk ke dalam mobil.

Jadi, begitu mendengar pintu belakang mobil ditutup dia segera saja menjalankan mobil tersebut. Nah, pada pagi itu saya memang sudah meletakkan barang-barang di dalam mobil dan akan segera berangkat, tetapi saya kembali ke ruang kerja karena ada barang yang tertinggal.

Para pembaca yang budiman, apa sebetulnya yang bisa kita pelajari dari kejadian ini?

Sopir saya ini memang telah menjalankan pekerjaannya dengan baik, tetapi yang dia lakukan adalah "menjalankan pekerjaan".

Kalau Anda menanyakan padanya apa pekerjaannya, dia pasti akan menjawab seperti ini, "Pekerjaan saya adalah mengemudikan mobil." Nah, sebelum Anda melanjutkan membaca tulisan ini, coba Anda pikirkan, apakah ada yang salah dengan jawaban sopir saya ini?

Kalau Anda mengatakan tidak ada yang salah dengan jawabannya ini, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan kejadian yang terjadi pada pagi itu. Sopir saya memang meninggalkan saya dan mengemudikan mobil yang tanpa penumpang.

Akan tetapi, bukankah pekerjaan seorang sopir memang mengemudikan mobil? Bukankah yang dilakukan sopir saya hari itu dan pada setiap harinya adalah mengemudikan mobil? Lantas, apa yang salah dengan mengemudikan mobil?

Pembaca yang terhormat, yang salah sesungguhnya adalah paradigmanya. Pekerjaan seorang sopir bukanlah mengemudikan mobil, tetapi melayani orang lain (dalam hal ini adalah melayani si pemilik mobil).

Nah, ketika seorang sopir memaknai pekerjaannya dengan hanya "mengemudikan mobil," maka hal seperti inilah yang akan terjadi. Dia hanya melakukan pekerjaannya secara fisik dan lupa bahwa pekerjaan yang dilakukannya sesungguhnya bertujuan melayani orang lain.

Padahal bukankah esensi dan hakikat dari pekerjaan apa pun yang kita lakukan di dunia ini adalah untuk melayani orang lain?

Pembaca yang saya hormati, apa yang terjadi pada sopir saya dalam cerita di atas sesungguhnya juga sering terjadi di banyak perusahaan dan banyak organisasi.

Pengalaman saya dalam berinteraksi dengan banyak manager dan eksekutif di berbagai perusahaan sering menunjukkan masih banyaknya orang yang sekadar melakukan pekerjaan mereka secara fisik dan belum menyadari hakikat yang sesungguhnya dari bekerja.

Mereka hanya berinteraksi dengan benda mati bukan dengan manusia. Mereka gagal melihat hubungan antara pekerjaan yang mereka lakukan dengan kesuksesan dan kebahagiaan orang lain yang menikmati hasil pekerjaan mereka.

Mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Bagi orang-orang yang seperti ini satu-satunya hal terpenting dalam bekerja adalah menyelesaikan pekerjaan dengan sesegera mungkin sehingga dia bisa terlepas dari segala beban, kewajiban, dan
tuntutan. Mereka sesungguhnya tidak akan pernah menikmati pekerjaan mereka. Mereka tidak akan pernah tahu bagaimana bahagianya kalau kita bekerja untuk melayani orang lain.

Seorang kawan saya sesama fasilitator melihat pekerjaannya adalah memberikan pelatihan kepada para peserta pelatihan. Ia sering kali grogi dan tidak percaya diri ketika berbicara di depan kelas. Ia juga memberikan pelatihan seadanya saja, dan dengan persiapan yang juga ala kadarnya. Baginya yang paling penting adalah sesegera mungkin menyelesaikan pelatihan supaya hatinya bisa tenang dan lega kembali.

Kawan saya ini adalah contoh yang sangat gamblang mengenai seseorang yang tidak menyadari hakikat dan esensi pekerjaannya. Pekerjaan seorang fasilitator pelatihan sesungguhnya bukanlah memberikan pelatihan melainkan melayani orang lain.

Seorang fasilitator haruslah orang yang berorientasi untuk memahami masalah dan tantangan yang dihadapi peserta pelatihannya, mau membuka diri dan berdiskusi dengan para peserta, mendengarkan mereka dengan penuh perhatian dan memberikan inspirasi dan motivasi yang mencerahkan yang bisa mereka bawa ke tempat kerja. Karena itu keluhan kawan saya ini mengeluh kurang bahagia dengan pekerjaannya sama sekali bukan hal yang aneh. Ia menderita karena gagal memaknai pekerjaannya.

Seorang fasilitator yang lain mengeluhkan pekerjaannya yang menjemukan. Kawan ini bertugas mengelola mailing list (milis) dan mengirimkan e-mail kepada para mantan peserta pelatihan. Dia mengatakan bahwa pekerjaan ini membosankan dan tidak membuatnya bersemangat. Padahal, saya melakukan pekerjaan yang sama dengan penuh semangat. Lantas di mana perbedaannya?

Ternyata perbedaannya hanyalah pada cara melihat. Kawan saya itu hanya melihat pekerjaannya secara fisik. Dia tidak pernah bisa membayangkan bahwa pekerjaan mengirim e-mail itu berkaitan dengan manusia. Dia tidak pernah menyadari bahwa pekerjaannya bukanlah mengirimkan e-mail tetapi melayani orang lain.

Bukankah bagi para mantan peserta pelatihan mendapatkan e-mail yang mencerahkan adalah ibarat mendapatkan segelas air yang sejuk dan menyegarkan di tengah panas terik rutinitas kerja yang luar biasa? Bukankah dengan membaca e-mail-e-mail yang inspiratif dapat membangkitkan semangat dan motivasi mereka dalam bekerja? Bukankah dengan membuat orang lain bahagia kita juga akan berbahagia?

Kalau demikian mana ada pekerjaan di dunia ini yang membosankan?

oleh : Arvan Pradiansyah - Managing Director ILM, penulis buku Best Seller The 7 Laws of Happiness

Source : Dari sebuah e-mail



Friday, July 10, 2009

Kisah Nyata : Kebesaran Jiwa Seorang Ibu!

Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan elektronik.

Ada seorang pemuda bernama A Be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yang cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewek-cewek yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gajinya pun lumayan.

Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman-teman kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewek-cewek jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.

Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul-betul seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.

Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu-satunya, A Be. Namun A Be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan,” jawab A be.

Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A Be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).

Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A Be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A Be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun.

Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A Be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A Be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. "Yang sudah-sudah Nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi."

Setelah ibunya sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.


Saturday, June 27, 2009

Kau Melihat Dunia Hanya Sebatas Pandanganmu

Ingatkan engkau ketika engkau mulai belajar berjalan?
Ketika engkau mulai melangkahkan kaki setapak demi setapak?
Ingatkah engkau, ketika engkau pertama kali memandang segala sesuatu dari kakimu yang mungil?
Segala sesuatunya terasa begitu jauh dan tak terjangkau oleh tangan-tangan mungilmu.
Kaki kursi maupun kaki bangku seakan-akan tongkat untuk menahanmu berdiri.

Dibawah meja makan merupakan tempat favoritmu, meja makan cukup untuk menudungi kepalamu.
Kau menengadah ketas dan melihat lampu-lampu indah, kau takjub dan kagum melihatnya, lalu kau mengulurkan tanganmu untuk menjangkaunya.
Tapi kau tak sanggup!!
Segala sesuatu nampak begitu jauh dan tak terjangkau bagi tangan dan kaki mungilmu yang berusaha untuk menggapainya.

Lalu kau mendengar sebuah suara memanggilmu.
Kau mencari berkeliling dengan tertatih-tatih, tapi kau tidak menemukannya.
Suara itu memanggilmu lagi..
Kau semakin penasaran dan menjejakkan kakimu ke lantai cepat-cepat untuk mencari sumber suara itu. Tangan dan kaki kecilmu berusaha menjaga keseimbangan ketika kau berlari untuk menemukan siapa yang memanggilmu.

Suara yang begitu lembut, suara yang kau tahu berasal dari orang yang mengasihimu. Suara yang sama terdengar memangilmu lagi, kau memandang sekelilingmu sekali lagi..tapi kau tetap tidak menemukan suara itu. Yang kau lihat disekelilingmu hanyalah mainan mobil-mobilanmu yang berserakan, 4 buah kaki kursi, sebuah balon, beberapa buah, krayon dan tempat favoritmu, dibawah meja makan.

Kau berlari dan melongok ke bawah meja, kalau-kalau sumber suara itu berasal dari sana. Dan kau mendengar suara itu sekali lagi, disertai dengan tawa lembut.
"Kemana kau mencari anakku? Lihat aku diatasmu."

Kau pun mendongakkan kepalamu dan melihat sumber suara itu. Ibumu berdiri di hadapanmu dan tersenyum melihatmu. Kau pun tersenyum dan berpikir, "Hei lihat..aku dapat menemukanmu."

Lalu kau mengulurkan tangan mungilmu dan mencoba menggapainya. Mencoba menciumnya, mencoba memegang tangannya. Namun, aduh..tanganmu tak dapat menggapainya.
Tiba-tiba ibumu terasa begitu jauh darimu. Ia menjulang tinggi dan tak dapat kau raih. Kau merasa kecewa dan menangis. Kau menginginkan ibumu, tapi kau tak dapat mencapainya..Ibu terasa begitu jauh.

Dan tiba-tiba, kau merasa tubuhmu terangkat. Ada sepasang tangan yang memegang pinggang kecilmu. Kau melihat ibumu tersenyum dan berkata, "Nah, aku bisa menemukanmu." Kau menggapai dengan tanganmu dan, Hei lihat..sorakmu..Kau bisa memegang pipinya. Ia tertawa ketika tangan-tanganmu memegang pipinya. Bahkan ketika salah satu tanganmu menarik rambutnya. Ia tertawa dan menarik kau mendekat padanya dan mencium pipimu. Akhirnya kau bisa meraih ibumu. Oh..salah.. Akhirnya Ibumu bisa meraihmu dan mendekapmu.

Betapa sering kita merasa Tuhan jauh dan tidak terjangkau bagi tangan-tangan kita. Atau mungkin kita ingin sekali menjangkauNya tapi upss..tanganmu kurang panjang. Kaki-kakimu kurang tinggi untuk dapt menyentuhNya.

Pernahkah kita merasa Tuhan jauh dari kita, kita berpikir dan membayangkan diri kita seperti anak kecil dengan pandangan yang serba terbatas sehingga kita tidak bisa melihat bahwa sesungguhnya kita berada dibawah kakiNya. Bahkan kita ada kurang dari 10cm dari hadapanNya. Pandangan kita sangat terbatas. Tidak seperti PandangnNya. PandanganNya begitu dekat kepada kita, sehingga tangan-tanganNya bisa menjangkau dan menarik kita mendekat kepadaNya.

BagiNya kita begitu dekat, sehingga bunyi nafas kita sekalipun terdengar di telingaNya. Ketika Ia menundukkan kepalaNya, ada kita di dekat kakiNya. Ia tersenyum dan tertawa ketika melihatmu mencari-cariNya, padahal kau ada di dekat kakiNya. Dan akhirnya, ia mengangkat pinggangmu, membawamu naik untuk dapat menciummu. Untuk membiarkanmu memegang pipiNya, untuk membiarkanmu menarik rambutNya. Ia ada dekat sekali denganmu. Yang perlu kau lakukan hanyalah menengadahkan kepalamu, dan Ia akan mengangkatmu ke atas. Ia akan membungkuk dan mengulurkan tanganNya.

Jadi, jika kau merasa begitu jauh dariNya..Ingat kau ada di dekat kakiNya...