Sunday, October 11, 2009

Kaya Raya Selamanya

Oleh: Gede Prama



Pada setiap perjalanan, ada saja cara-cara sang hidup untuk bertutur. Dalam sebuah penerbangan dari Sydney ke Denpasar, entah apa yang terjadi tiba-tiba badan ini tidak mau membaca dan tidak mau tidur. Sehingga menerawanglah mata dari atas pesawat ke bawah sana. Ternyata, selama kurang lebih tiga setengah jam penerbangan tanah-tanah Australia lebih dari sembilan puluh persen berisi tanah kering yang tandus. Bandingkan misalnya dengan penerbangan dari Jakarta ke Medan. Selama hampir dua jam, di bawah sana terbentang warna hijau bukit barisan yang indah dan subur.

Di jalan-jalan darat, mata ini juga disuguhi bahan-bahan cerita yang berlimpah. Dalam sebuah perjalanan dari Medan ke Berastagi, mobil yang saya tumpangi mengikuti sebuah bus antarkota. Yang menarik, di atas bus tadi ada sekelompok orang yang duduk-duduk tenang dengan wajah gembira. Di sebuah pasar yang membuat jalan jadi macet, orang-orang yang tidak mengenal dinginnya udara di atas bus yang berjalan ini, tiba-tiba memesan durian dari atas sana, dan melahapnya dengan penuh gembira. Dari kaca mobil yang diteduhi AC diri ini bergumam kecil : mereka bisa hidup bahagia seadanya. Dan tiba-tiba teringat sebuah pengalaman ketika menginap di sebuah hotel berbintang di Bali sana. Dari mobil mewah yang mengkilap, keluar serombongan keluarga yang bermuka merah saling marah-marah. Sebelum mereka check in, mereka cekcok dan akhirnya kembali dari Bali tanpa bisa berlibur.

Melalui ilustrasi ini, sang hidup seperti sedang bertutur : we can be prosper at any level of income. Kita bisa sejahtera di setiap tingkatan pendapatan berapapun. Kesejahteraan, memang berkaitan dengan uang. Akan tetapi, yang paling utama tidak disebabkan oleh uang. Lantas, kalau tidak disebabkan oleh uang, disebabkan oleh apa ?

Sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, kesejahteraan memang berwajah ganda : material dan transendental. Keduanya memang saling memerlukan dan saling mengisi. Kesejahteraan material tanpa kesejahteraan transendental sering membuat orang jadi kaya tapi tidak bahagia. Kesejahteraan transendental tanpa kesejahteraan material menarik manusia ke dalam rangkaian hidup yang tidak seimbang : menoleh ke atas, lupa tugas-tugas di bawah dan disamping.

Kegagalan banyak manusia untuk merangkum kedua jenis kesejahteraan ini ternyata direspon tidak terlalu antusias oleh ilmi-ilmu manusia. Nyatanya wilayah-wilayah hubungan antara uang dan kesadaran manusia termasuk wilayah pengetahuan yang tidak banyak dieksplorasi. Kebingungan dan keterasingan di tengah limpahan uang, sang hidup yang diperkuda uang, hanyalah sedikit contoh dalam hal ini. Ada sahabat jernih yang pernah berbisik : many people have career, but they don’t have life. Banyak manusia yang memiliki karir cemerlang, tetapi tidak memiliki hidup.

Berangkat pagi, putera-puteri masih tidur. Setelah pulang, mereka sudah tidur. Tatkala miskin tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Setelah kaya tidak boleh makan enak karena dilarang dokter. Di awal kehidupan semua tenaga fisik dikerahkan untuk kehidupan terang kemudian. Setelah materi terang benderang hanya habis untuk membayar ongkos rumah sakit.

Mungkin betul cerita orang bijak, kalau kehidupan adalah guru yang sempurna. Tubuh ini misalnya, ia sering kali mengingatkan kita akan perilaku-perilaku menyimpang. Pengalaman-pengalaman yang terbentang luas, juga bertutur cerewet tentang pedoman-pedoman menemukan kesejahteraan. Sayangnya, tidak sedikit diantara kita yang tuli akan pesan-pesan sang guru kehidupan. Untuk kemudian, mengulang-ulang lagi keterperosokan-keterperosokan terdahulu.

Dalam lapisan-lapisan renungan seperti ini, mungkin ada gunanya untuk melihat hakekat uang. Uang, harus diakui, memang sejenis energi kehidupan. Namun, tanpa kemampuan mengelola yang memadai, ia menjadi kuda yang minta digendong. Disamping berat, juga membuat sang hidup meneteskan air mata di sepanjang jalan.

Sebuah lagu tua pernah bertutur jernih, hidup ini memang serupa dengan menyapu lantai. Setiap hari kita menyapu lantai. Hilang debu, datang daun kering dan seterusnya tanpa pernah habis-habis. Demikian juga dengan lantai-lantai kehidupan. Kita perlu menyapunya setiap hari. Dan sapu kesejahteraan yang paling mengagumkan bernama sapu cukup. Sekali lagi, cukup adalah sapu pembersih kehidupan yang paling bisa membuat lantai-lantai kehidupan tampak bersih.

Dan sebagaimana diakui banyak sahabat, justru menemukan sapu cukup inilah bagian terberat dari perjalanan menemukan kesejahteraan. Terutama karena sang uang – melalui tamu kehidupan yang bernama nafsu - memaksa untuk digendong. Serupa dengan mulut yang meminta makan ditambah terus ketika enak, dan bisa dihentikan dengan air putih, kita juga memerlukan air putih kesadaran. Yang bisa membuat kuda uang turun dari gendongan, dan kemudian kitalah yang naik di atas.

Tidak mudah tentunya. Ia memerlukan serangkaian latihan kehidupan yang panjang. Dan juga menuntut manusia menjadi supir dari kendaraan kehidupan yang bernama tubuh. Ketika manusia sudah menjadi supir dari tubuhnya, terbukalah tanda-tanda bisa menjadi kaya raya selamanya. Ketika punya uang, supir mengaturnya dengan rangkaian manajemen keuangan yang terpadu. Ketika tidak punya uang, supir mengatakan begini : time for break ! Baik ketika ada maupun tidak ada uang, sang supir menyanyikan lagu syukur sepanjang jalan. Pernah kejernihan berbisik begini ke saya : ketika kita masih mencari, kita memerlukan tujuan dan masa depan. Tatkala manusia tidak lagi mencari, ia memiliki semuanya di sini di hari ini.


No comments: